Entri Populer

Rabu, 30 Maret 2011

CALON MERTUA

Suara Karya
Minggu, 16 Juni 2007

Calon Mertua
Cerpen: Asyat Akbar

Aku berlebihan? Tidak! Sama sekali tidak! Kamu keliru. Kamu tidak mengerti. Siapa pun, jika menghadapi situasi seperti yang kuhadapi sekarang ini, pasti sama. Pasti tidak beda. Tak terkecuali kamu. Bahkan mungkin semua lelaki. Ya, semua laki-laki dalam perjalanan hidupnya pasti mesti melewati situasi seperti aku alami saat ini. Gelisah. Gugup. Bingung. Takut. Tak percaya diri. Tidak enak makan, tak enak minum. Susah tidur. Ah, pokoknya macam-macam. Berbagai perasaan campur aduk. Semua tumpek blek. Hanya gara-gara urusan perempuan!

Kamu belum mengalami. Coba kamu punya cewek! Lagian, ngapain ngejomlo terus? Apa enaknya sih? Tapi pada saatnya aku yakin kamu pasti kepincut sama seseorang. Entah cewek kece atau biasa-biasa saja. Kamu laki-laki normal toh? Ah, ya! Aku yakin kamu normal. Bukankah kamu pernah bilang bahwa gairahmu bangkit berkobar setiap kali melihat aurat cewek yang diobral-obral ataupun sekadar tersibak? Bahkan kamu juga mengaku suka greng saban kali melihat belahan dada cewek muda dan segar -- siapa pun itu! Nah, itu tanda kamu laki-laki normal dan sudah dewasa.

Jadi, mestinya kamu sudah punya cewek. Entah serius entah tidak, seharusnya kamu sudah punya pacar. Dengan demikian, kamu tak akan serta-merta menilai berlebihan situasi hatiku saat ini. Terlebih kalau kamu juga sudah pacaran lama seperti aku sama Mawar, kamu pasti bisa memahami posisiku sekarang.

Yeahhh, mestinya kamu mengerti bahwa ini tidak main-main. Ini pasti serius. Ini pasti menentukan kelanjutan hubunganku dengan Mawar. Coba, buat apa bapaknya tiba-tiba memintaku datang ke rumahnya? Tidak sari-sarinya! Asal kamu tahu, dia -- bapaknya Mawar -- selama ini tak pernah memberi hati padaku. Belum pernah sekali pun dia bersikap ramah. Selalu pasang tampang kecut. Serem. Seulas senyum pun tak pernah dia perlihatkan. Beberapa kali aku main ke rumahnya -- ngapelin Mawar, maksudku -- dia selalu bersikap dingin. Kayak gangster di film-film mafia itu lho. Jangankan menegur atau apalagi mengajak ngobrol, bahkan sekadar ucapan salamku saja tak pernah dia jawab, kecuali dengan dengusan pendek dan sumbang: "hmmm". Padahal sebagai Muslim, mestinya dia mengerti. Ucapan assalamualaikum wajib dijawab secara patut. Bukan dengan dengusan kayak kebo kebelet.

Boleh jadi, itu sikap angkuh seorang yang sukses dan kaya menghadapi pemuda kere macam aku. Sebagai pimpinan sebuah bank papan atas di negeri ini, mungkin dia tak rela hati anak gadisnya kupacari. Jadi, amat wajar dia kelihatan tidak suka terhadapku. Apalagi tampangku tidak keren kayak aktor Nicholas Saputra, sementara wajah Mawar memang cakep. Kamu sendiri bilang, Mawar mirip Dian Sastro dengan bodi semampai macam Luna Maya (padahal menurutku, Mawar lebih mirip penyanyi kesukaanmu, Mulan Kwok).

Jadi, ketika beberapa hari lalu Mawar bilang bahwa bapaknya memintaku datang menemuinya, terang saja aku jadi galau. Aku langsung sudah bisa meraba maksudnya. Tapi tak urung aku bertanya juga pada Mawar. "Ngapain?"
"Tidak tahu. Ayah cuma bilang, dia ingin bicara sama Abang."
"Soal apa?"
Mawar mengangkat bahu. "Mungkin soal kita, Bang."
"Maksud kamu?"
"Ya, soal hubungan kita."
"Hubungan kita bagaimana?"
"Tidak tahu. Aku juga tidak mengerti, Bang."

* * *

Coba, menurut kamu soal apa yang mendorong bapaknya Mawar merasa perlu memintaku datang untuk berbicara dengannya? Kamu setuju perkiraan Mawar? Ya, ya aku juga setuju. Pasti soal hubunganku dengan Mawar. Ya, soal apa lagi? Hanya soal satu itu yang masuk akal. Lain tidak!

Tapi maksud orang tua itu bagaimana? Apa yang dia inginkan? Memintaku agar menjauhi Mawar? Harus berhenti memacarinya? Bubar jalan? Tidak boleh datang-datang lagi ngapelin anak gadisnya?

Boleh jadi! Dia juga mungkin ingin mengata-ngatai aku sebagai pemuda tak tahu diri. Tidak ngaca. Tidak pantas bermimpi menjadi calon menantunya! Mungkin pula dia ingin mengatakan bahwa aku pemuda bebal. Geblek. Tidak mengerti bahasa tubuh yang dia perlihatkan. Bagi dia, barangkali, mestinya aku mengerti bahwa sikapnya yang tidak ramah, tampang selalu ditekuk kecut, dan sama sekali tak pernah sudi menyapa adalah pertanda dia tak merestui hubunganku dengan Mawar. Kamu setuju?

Tapi apa benar itu karena aku di matanya tidak punya masa depan, sehingga aku dianggap tak layak menjadi calon pendamping Mawar? Ah, masa sih statusku sebagai mahasiswa ekonomi di perguruan tinggi paling bergengsi di Jakarta ini sedikit pun tak memberi kesan padanya bahwa masa depanku tak suram-suram amat? Mestinya dia mengerti bahwa status itu menunjukkan kecil sekali kemungkinan aku kelak jadi gembel. Bahwa kini aku hidup di rantau dengan kondisi serba pas-pasan, itu bukan berarti kehidupanku di masa depan tak layak diperhitungkan. Bukan begitu, kawan?

Atau, jangan-jangan dia mengira Mawar sudah hamil? Ah, naudzubillah! Mustahil! Mungkin kamu tak percaya, aku tak sehina itu. Aku tahu batas. Aku masih bisa mengendalikan diri dalam berhubungan dengan perempuan. Ciuman sih iya. Juga sedikit-sedikit gerayangan, kalau ada kesempatan. Tapi kukira itu masih wajar-wajar saja. Namanya juga orang pacaran. Masak ngobrol melulu setiap kali ketemu. Ciuman atau rabaan, dalam saat-saat tertentu, sungguh tak terhindarkan. Sungguh! Apalagi kalau Mawar sudah memberi isyarat mau ngasih sun. Apa? Berlagak alim? Wah, bisa-bisa aku dibilang bego. Nanti deh kamu mengalami sendiri. Makanya jangan keasyikan ngejomblo terus, kawan!

Tapi apa mungkin bapaknya mengira Mawar sudah hamil? Ah, ya! Mungkin. Itu sangat mungkin. Bisa saja Mawar mengaku-ngaku sudah kuapa-apakan! Sori, aku tak pernah cerita padamu. Mawar pernah bilang akan mengaku hamil andai bapaknya memarahi dan melarangnya berhubungan denganku. Dia mengaku tidak takut melakukan itu. Karena dia tak mau pisah denganku. Dia tak sudi hubungan asmaranya denganku dihancurkan orang lain, termasuk oleh bapaknya sendiri.

Jadi, dengan mengaku hamil, Mawar yakin bapaknya jadi skak-ster. Dengan demikian, bapaknya tak bisa semena-mena membubarkan hubungan cinta kami. Pikir Mawar, kalau sudah tahu anak gadisnya hamil, bapaknya tidak mungkin sampai memaksa dia bubaran denganku. Bapaknya tak akan rela Mawar melahirkan tanpa ada laki-laki yang bertanggung jawab telah menghamilinya. Mawar yakin, bapaknya tak bakal sanggup menanggung malu andai cucunya lahir sebagai bayi haram jadah.

Ya, ya, ya. Tampaknya memang begitu. Ini skenario Mawar. Supaya bapaknya tidak memaksa bubar hubungannya denganku. Tapi justru itu, bapaknya kini jadi berang. Murka. Pantas saja dia memintaku datang menemuinya. Jelas bukan sekadar untuk diajak bicara, seperti kata Mawar. Aku pasti dimaki habis. Sumpah serapah pasti tumpah ruah. Bahkan nama-nama penghuni kebun binatang mungkin dia muntahkan semua.

Itu yang membuatku kini galau tak karuan. Haruskah aku tak menggubris permintaan agar menemuinya? Toh sudah jelas bahwa kemungkinan besar aku diminta datang sekadar untuk dimurkai.

Menurut kamu bagaimana? Mestikah aku diam saja ketika dimaki habis kayak kecoa dilumat ujung kaki, sementara aku tak bersalah sebagaimana dia tuduhkan? Haruskah aku cuma tertunduk pasrah menerima vonis bahwa aku telah menghamili Mawar? Lalu di mana harga diriku sebagai laki-laki? Atau haruskah aku buka kartu bahwa itu cuma bualan Mawar?

** *

Oke, apa pun yang terjadi, aku penuhi permintaan bapaknya Mawar. Aku datangi dia. Sebagai laki-laki, aku tak boleh miris. Harus percaya diri. Aku harus berani menghadapi tantangan sesulit apa pun. Kamu tahu, itu prinsip yang sejak kecil diajarkan kedua orangtuaku. Apalagi risiko yang kuhadapi kecil kemungkinan membuatku masuk kubur. Atau digotong ke rumah sakit. Cuma dimaki-maki kok! Kalau aku bisa tahan diperlakukan bak kecoak atau tikus got, berarti aku bisa menaklukkan tantangan. Selebihnya, mungkin aku diminta segera menikahi Mawar. Ah, itu soal nanti.

Tetapi kalau tak tahan dimaki secara hina, aku mungkin berontak. Tak diam saja. Bagaimana bentuk pemberontakanku, sulit kubayangkan saat ini. Sangat tergantung situasi dan kondisi nanti. Namun aku berharap itu tak melebihi batas kepatutan. Tak membuatku menjadi seorang yang kurang ajar.

Bahwa itu berisiko membuat hubungan cintaku dengan Mawar jadi terganggu atau bahkan berantakan, apa boleh buat. Namun semoga saja Mawar bisa mengerti. Bahwa skenario atau rencana tak senantiasa terlaksana mulus. Selalu ada risiko di luar perkiraan.

* * *

Tak urung aku deg-degan juga ketika Mawar membawaku ke ruang tamu. Batinku galau. Mereka-reka apa yang akan terjadi. Kamu bisa bayangkan, tak lama lagi aku berhadapan dengan singa murka. Niscaya aku langsung dicabik-cabik tanpa ampun.

Hatiku makin kecut ketika singa tua itu muncul di hadapanku. Terlebih setelah Mawar menghilang ke ruang dalam dan tak muncul-muncul lagi. Membiarkan aku berdua dengan singa tua di ruangan itu.

Seperti biasa, sikap singa tua itu dingin. Sama sekali tanpa keramahan. Matanya tajam menatapku. Penuh selidik. Lama sekali kurasa. Aku tak peduli. Aku siap diterkam dan dicabik-cabik.

"Kuharap kamu tak tersinggung," katanya kemudian. Suaranya dalam dan berat. Mungkin disengaja agar terkesan berwibawa.

Omongan selanjutnya orang tua itu sama sekali di luar dugaan. Membuatku ternganga. Tapi juga melegakan. "Aku tak peduli siapa kamu. Faktor bebet dan bibit bukan masalah. Faktor bobot juga bukan soal teramat penting. Begitu pula soal materi.

Bagiku, siapa pun yang menjadi calon pendamping hidup putriku harus paham agama. Dia juga harus bisa mengaji, rajin shalat dan puasa, juga pandai memimpin doa. Ini tak bisa ditawar-tawar lagi. Ini syarat mutlak. Aku hanya butuh calon menantu yang memenuhi syarat-syarat itu. Lain tidak. Sederhana saja. Karena aku, juga anak istriku, perlu imam. Kami butuh orang yang setiap saat bisa menegur dan membimbing kami ke arah ridla-Nya. Jujur saja, selama ini kami buta soal agama. Jiwa kami gersang. Karena itu, kami amat butuh imam..."***

* Sukatani-Bangka Raya, Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar