Lampung Post
Minggu, 16 September 2007
Nurani Manusia
Cerpen: Iskandar Saputra
GELAP malam memberi cekam di antara deru hujan. Rinainya makin menjadi ketika malam bertambah larut. Suaranya berdetakan di atas atap kardus yang mulai lapuk, menjadi gamelan sunyi di pinggiran kota. Gemuruh halilintar yang enggan berhenti seakan mengisyaratkan gelisah hati Marni. Dalam bilik sempit yang diterangi temaram lampu sentir, ada penantian tanpa kepastian.
Perlahan hawa dingin mulai menyusup. Dinding tripleks bekas yang kusam itu tidak mampu menahan deru angin yang merobek celah-celahnya. Dengan mata yang sayu menahan kantuk, ia pandangi wajah anaknya yang tertidur lelap.
Bocah polos ini adalah teman satu satunya dalam melewati getirnya hidup. Tempat ia mengeluh dan membagi resah. Tapi, dua bulan terakhir bocah malang ini terserang lumpuh layu. Ia hanya bisa terbaring di atas ranjang kusam.
Sudah berkali-kali Marni membawanya ke puskesmas, tapi tidak juga ada perubahan. Dokter menyarankan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Tapi, Marni menolak. Ia tak tega melihat anaknya telantar karena ia tak mampu membayar biaya perawatan. Kondisi ekonomi yang memaksanya untuk pasrah menjalani nasib.
Bocah bertubuh ceking ini tak bisa menuntut apa pun dari orang tuanya. Dengan kerelaan hati ia habiskan hari harinya dengan memandangi bekas rembesan air yang tergambar di atap kardus rumahnya.
Marni tak beranjak dari tempat duduknya. Dingin yang serasa menusuk tulang membuat giginya beradu. Sambil terus menghitung tetes bocoran air hujan, ia selipkan kedua tanganya erat erat ke pangkal ketiak. Ia terus berusaha melawan dingin dan lapar yang mengiris lambungnya. Sepeninggal suaminya, Joko, Marni terbiasa menahan perih lantaran tak ada makanan yang bisa dimakan.
Hidup dengan segala kekurangan sudah menjadi bagian derita Marni. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu. Beruntung, dahulu ada pemulung yang mau mengasuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saat Marni menginjak usia sepuluh tahun, pemulung itu meninggal dunia karena komplikasi penyakit.
Hidup sebatangkara melatihnya untuk mandiri. Awalnya ia meminta-minta di pinggiran jalan untuk menyambung hidup, meskipun makian dan air ludah yang lebih sering ia terima.
Seiring bertambahnya usia, Marni mulai malu meminta belas kasihan orang. Ia bertekad menghidupi diri sendiri dari hasil keringat yang ia cucurkan. Lalu ia pun menjadi pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah. Kesulitan hidup yang terus menimpanya benar-benar membutuhkan kesabaran yang berlapis.
Kondisi sulit ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan Joko. Pemuda gelandangan yang drop out karena tak bisa membayar biaya sekolah. Laki-laki yang kini menjadi suaminya ini sangat bersahaja. Meskipun pernah mengalami gangguan kejiwaan, kini Joko menjadi kumbang yang berhasil meluluhkan hati Marni. Penampilannya yang apa adanya membuat Marni terpesona.
Masih lekat dipelupuk matanya saat ia berebut barang bekas dengan Joko. Tempat pembuangan sampah itu menjadi taman di mana mereka mulai mengukir kasih. Saat itulah Joko menyatakan keinginan menyunting bunga mawar yang tumbuh di antara onggokan sampah. Bunga yang sekian lama menanti belaian kumbang makin merekah. Warna merahnya yang ranum menandakan bahwa ia sudah siap dipetik.
"Tapi aku kan yatim piatu, apa orang tua mas mau menerimaku? Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini, pemulung barang bekas." Marni menundukkan wajah ayunya untuk menguji keseriusan cinta Joko. Walaupun binar matanya tak bisa menutupi kebahagiaan hatinya.
"Aku juga seperti dirimu, gelandangan yang kini menjadi pemulung. Hidupku pun tak jauh beda dengan hidupmu," Joko mencoba meyakinkan.
"Apa Mas mau?" Marni mencari jawab atas keraguan dihatinya.
"Ketulusan, yang akan membuat kita tak pernah lelah untuk saling memahami. Siap menerima apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Getirnya hidupmu akan menjadi bagian deritaku. Aku memang pecundang yang terlindas laju hedonisme metropolitan tanpa gemerlap materi dan kuasa. Tapi saat mengenalmu, aku lebih bahagia dibanding raja dengan istana permata". Getar rasa yang lama terpendam membuat pemuda gelandangan itu menjelma pujangga.
Marni hanya menjatuhkan wajah malu. Hatinya dibasuh embun kebahagiaan. Rasa kagum yang selama ini mengganggu pikirannya kini terkurangi. Ternyata bukan hanya Marni yang memendam rasa, Joko pun sedang menunggu di mana syair-syair cinta dihatinya terkatakan. Joko menjadi labuhan sampan Marni yang lelah mengarungi badai dilautan. Ia juga tempat berkeluh kesah dan teman meraih secercah harapan masa depan.
***
Matahari yang terik siang itu membakar kulit Joko hingga legam. Keringat mengucur dari tubuhnya yang kotor dan berdaki. Sejak pagi buta ia telah mengorek-ngorek tumpukan sampah, mengais barang bekas yang masih bisa dijual ke pengumpul. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar untuk ditukar dengan secanting beras dan sejimpit garam untuk menghilangkan rasa hambar.
Sudah setengah hari ia menelusuri setiap sisi pembuangan sampah, tapi tak banyak yang ia dapat. Hanya beberapa botol plastik bekas minuman. Selebihnya sampah sisa makanan dengan bau menyengat. Mungkin kemarin sore tidak ada mobil yang membuang sampah di sini, pikir Joko membuang penat.
Menjelang sore ia tinggalkan tempat itu. Mukanya yang lelah mulai terlihat murung. Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Seakan ikut membahasakan resah hati Joko. Dengan langkah lesu ia berjalan pulang. Digendongnya keranjang lusuh yang berisi botol plastik. Otaknya berputar putar. Membayang di pelupuk matanya wajah tuan Suryo. Bos pengumpul barang bekas tempat ia menjual hasil pulungannya. Wajah lelaki bermata besar dan berkumis tebal itu begitu akrab di benaknya. Apalagi bulan ini ia nunggak membayar cicilan utangnya, wajah itu makin sangar saat memandangnya masam.
Sebenarnya utang yang pernah ia pinjam tidak terlalu besar, tapi karena ia belum bisa melunasinya kini bunga utang itu menjadi berlipat-lipat. Bahkan, sepuluh kali lipat lebih besar dari utangnya semula.
Di tengah kegelisahan itu, bayangan wajah Budi dan Marni muncul seketika. Budi kini terbaring lemas. Tubuhnya yang kurus semakin ceking lantaran digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Hanya perutnya yang membuncit.
Sebelum berangkat memulung Joko sempat mencium kening Budi. Dibelainya rambut itu penuh kasih sayang.
"Bapak berangkat dahulu ya Nak, doakan hari ini dapat pulungan banyak."
"Inggih Pak, hati-hati. Kalau dapat pulungan banyak jangan lupa belikan Budi telur ayam, hari ini Budi pengin makan pakai telur dadar," Budi meminta dengan suara memelas.
Entah mengapa hari ini Budi ingin makan pakai telur. Padahal tak biasanya ia meminta seperti itu. Ia begitu paham ekonomi orang tuanya. Bapaknya yang hanya seorang pemulung barang bekas tidak bisa menyediakan lauk bergizi setiap hari. Paling paling telur sebulan sekali, itu pun kalau lagi dapat pulungan banyak.
Tak terasa hari beranjak petang. Langkah kakinya terus melaju menuju rumah tuan Suryo. Ia hendak menjual barang bekas hasil pulungannya. Saat melintas di depan toko kelontong, Joko melihat tumpukan kardus bekas di depan toko. Suasana toko saat itu benar-benar sepi. Di jalanan pun tak banyak orang yang berlalu lalang.
Dengan sedikit mengendus-endus Joko mendekati tumpukan kardus. Lembar demi lembar kardus bekas itu ia masukkan keranjang. Sudah belasan kardus yang ia ambil. Rencananya ia menjual kardus itu kepada tuan Suryo untuk menambah beberapa botol plastik bekas hasil pulungannya. Uangnya akan ia gunakan membeli sekilo beras, tiga butir telur ayam, dan sisanya untuk membeli bumbu dapur.
Tapi malang tak dapat ditolak. Keinginan Joko untuk membahagiakan hati istri dan anaknya mendadak buyar. Belum sempat ia meninggalkan tempatnya, pemilik toko telah muncul dari belakang.
"Maling. Maling. Maling."
Pemilik toko berteriak sekuat kuatnya. Joko yang terkejut panik bukan main. Wajahnya pucat bercampur takut dan bingung. Merasa dalam bahaya, ia pun lari sekencang kencangnya. Ia tak lagi memikirkan keranjang miliknya yang berisi botol dan kardus bekas.
Tapi sayang, massa yang mendengar teriakan pemilik toko langsung mengejarnya. Secepat kilat tubuh Joko jadi pelampiasan kekesalan massa. Mereka memukulinya tanpa belas kasihan. Bahkan tak memberinya kesempatan mengelak dan beralasan. Entah sudah berapa banyak pukulan yang mendarat ditubuhnya, ia tak bisa menghitung lagi.
Berkali-kali Joko memohon ampun, tapi massa yang sudah menjadi serigala kelaparan ini terus mencabik-cabik tubuhnya. Joko hanya bisa menangis menahan sakit yang teramat sangat. Darah segar pun mulai mengalir dari hidung dan telinganya.
"Bakar. Bakar. Bakar."
Teriakan massa yang kalut ini membuat detak jantungnya seakan terhenti. Perasaan takut mati menyelinap diantara rintihan lirihnya.
"Ampun, ampunilah saya. Saya mohon!" Joko memohon iba di antara riuh suara massa yang semakin memanas.
"Tenang. Semua tenang. Jangan main hakim sendiri, kita bawa ke kantor polisi saja biar kita tidak kena getahnya."
"Dibakar saja Pak Satpam, biar kapok. Dia kan maling yang udah bikin resah."
Warga yang belum puas melampiaskan amarahnya terus mendesak.
"Tidak. Kalau sampai dia mati, kita juga akan dipenjara. Apa kalian semua siap dipenjara?"
Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah hening. Setelah merenung sesaat, massa setuju untuk membawa Joko ke kantor polisi. Dengan kedua tangan terikat tali, Joko digiring menuju kantor polisi.
Tidak seorang pun menaruh iba padanya. Bahkan, mereka tak pernah bertanya mengapa dan untuk apa Joko mencuri kardus kardus bekas itu. Apakah untuk memperkaya diri? Bermegah-megahan? Bukan, Joko tidak tamak. Ia hanya ingin menukarnya dengan beras dan tiga butir telur ayam, tidak lebih.
Joko menundukkan wajahnya yang berlumuran darah saat melewati rumahnya dengan harapan Marni tak melihat. Tapi, ternyata Marni yang menunggunya sejak sore tak meluputkan pemandangan itu.
"Mas Joko, kamu kenapa Mas? Mas, kamu mau ke mana? Huuk, Huk.., Huk..!" Tangis Marni selaksa hujan yang tercurah dari langit. Ia berusaha memeluk tubuh suaminya yang penuh luka. Tapi massa yang membawa Joko tetap tak menggubris dan terus menahannya. Ratap Marni makin menjadi. Isak tangisnya membuat hati Joko tersayat. Ia hanya tertunduk lesu, membenamkan wajahnya pada kerikil kerikil tajam diatas jalan yang dilaluinya.
***
"Bapak, kapan bapak pulang? Bu, bapak di mana? Kapan bapak pulang?" Suara pelan itu terdengar hampir setiap malam. Dan suara itu pula yang membuat mata Marni selalu basah. Bocah malang yang terbaring didepan Marni itu tak pernah tahu di mana bapaknya kini. Marni selalu menutup-nutupinya karena tak ingin melihat Budi semakin sedih. Setiap Budi bertanya, Marni selalu mengatakan kalau Joko sedang merantau ke kota, mencari uang untuk biaya pengobatan Budi nanti.
Sudah sebulan Joko mendekam di kantor polisi. Di ubin tanpa tikar itu ia habiskan hari harinya yang begitu menyiksa. Entah berapa lama lagi ia akan menunggu sangkar besi ini, ia pun tak pernah tahu.
Polisi penjaga tahanan hanya mengatakan kalau ia nanti akan disidang. Tapi kapan, Polisi tersebut tidak bisa memastikan yang jelas menunggu waktu yang tepat.
Rasa jenuh dan bosan menjadi teman dalam ketidakpastian penantian Joko. Perasaan bersalah telah menelantarkan Marni dan Budi terus menghinggapi pikirannya. Sesal itu makin pahit saat terbayang wajah Budi yang terbaring lemas. Ia tak tahu seperti apa keadaannya, apakah masih bisa makan atau sedang berjuang melawan lapar.
Sepeninggal Joko, Marni kerja serabutan. Untuk menyambung hidup ia sering berbagi sebungkus nasi dengan Budi. Demi sebungkus nasi ini juga, Marni terpaksa meninggalkan Budi sendirian dengan sakit yang semakin kritis. Di siang yang begitu panas, Budi mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.
Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.
Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.
Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan undang-undang dengan uang.
Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan meringankan beban hukumnya.
Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***
Perlahan hawa dingin mulai menyusup. Dinding tripleks bekas yang kusam itu tidak mampu menahan deru angin yang merobek celah-celahnya. Dengan mata yang sayu menahan kantuk, ia pandangi wajah anaknya yang tertidur lelap.
Bocah polos ini adalah teman satu satunya dalam melewati getirnya hidup. Tempat ia mengeluh dan membagi resah. Tapi, dua bulan terakhir bocah malang ini terserang lumpuh layu. Ia hanya bisa terbaring di atas ranjang kusam.
Sudah berkali-kali Marni membawanya ke puskesmas, tapi tidak juga ada perubahan. Dokter menyarankan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Tapi, Marni menolak. Ia tak tega melihat anaknya telantar karena ia tak mampu membayar biaya perawatan. Kondisi ekonomi yang memaksanya untuk pasrah menjalani nasib.
Bocah bertubuh ceking ini tak bisa menuntut apa pun dari orang tuanya. Dengan kerelaan hati ia habiskan hari harinya dengan memandangi bekas rembesan air yang tergambar di atap kardus rumahnya.
Marni tak beranjak dari tempat duduknya. Dingin yang serasa menusuk tulang membuat giginya beradu. Sambil terus menghitung tetes bocoran air hujan, ia selipkan kedua tanganya erat erat ke pangkal ketiak. Ia terus berusaha melawan dingin dan lapar yang mengiris lambungnya. Sepeninggal suaminya, Joko, Marni terbiasa menahan perih lantaran tak ada makanan yang bisa dimakan.
Hidup dengan segala kekurangan sudah menjadi bagian derita Marni. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu. Beruntung, dahulu ada pemulung yang mau mengasuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saat Marni menginjak usia sepuluh tahun, pemulung itu meninggal dunia karena komplikasi penyakit.
Hidup sebatangkara melatihnya untuk mandiri. Awalnya ia meminta-minta di pinggiran jalan untuk menyambung hidup, meskipun makian dan air ludah yang lebih sering ia terima.
Seiring bertambahnya usia, Marni mulai malu meminta belas kasihan orang. Ia bertekad menghidupi diri sendiri dari hasil keringat yang ia cucurkan. Lalu ia pun menjadi pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah. Kesulitan hidup yang terus menimpanya benar-benar membutuhkan kesabaran yang berlapis.
Kondisi sulit ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan Joko. Pemuda gelandangan yang drop out karena tak bisa membayar biaya sekolah. Laki-laki yang kini menjadi suaminya ini sangat bersahaja. Meskipun pernah mengalami gangguan kejiwaan, kini Joko menjadi kumbang yang berhasil meluluhkan hati Marni. Penampilannya yang apa adanya membuat Marni terpesona.
Masih lekat dipelupuk matanya saat ia berebut barang bekas dengan Joko. Tempat pembuangan sampah itu menjadi taman di mana mereka mulai mengukir kasih. Saat itulah Joko menyatakan keinginan menyunting bunga mawar yang tumbuh di antara onggokan sampah. Bunga yang sekian lama menanti belaian kumbang makin merekah. Warna merahnya yang ranum menandakan bahwa ia sudah siap dipetik.
"Tapi aku kan yatim piatu, apa orang tua mas mau menerimaku? Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini, pemulung barang bekas." Marni menundukkan wajah ayunya untuk menguji keseriusan cinta Joko. Walaupun binar matanya tak bisa menutupi kebahagiaan hatinya.
"Aku juga seperti dirimu, gelandangan yang kini menjadi pemulung. Hidupku pun tak jauh beda dengan hidupmu," Joko mencoba meyakinkan.
"Apa Mas mau?" Marni mencari jawab atas keraguan dihatinya.
"Ketulusan, yang akan membuat kita tak pernah lelah untuk saling memahami. Siap menerima apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Getirnya hidupmu akan menjadi bagian deritaku. Aku memang pecundang yang terlindas laju hedonisme metropolitan tanpa gemerlap materi dan kuasa. Tapi saat mengenalmu, aku lebih bahagia dibanding raja dengan istana permata". Getar rasa yang lama terpendam membuat pemuda gelandangan itu menjelma pujangga.
Marni hanya menjatuhkan wajah malu. Hatinya dibasuh embun kebahagiaan. Rasa kagum yang selama ini mengganggu pikirannya kini terkurangi. Ternyata bukan hanya Marni yang memendam rasa, Joko pun sedang menunggu di mana syair-syair cinta dihatinya terkatakan. Joko menjadi labuhan sampan Marni yang lelah mengarungi badai dilautan. Ia juga tempat berkeluh kesah dan teman meraih secercah harapan masa depan.
***
Matahari yang terik siang itu membakar kulit Joko hingga legam. Keringat mengucur dari tubuhnya yang kotor dan berdaki. Sejak pagi buta ia telah mengorek-ngorek tumpukan sampah, mengais barang bekas yang masih bisa dijual ke pengumpul. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar untuk ditukar dengan secanting beras dan sejimpit garam untuk menghilangkan rasa hambar.
Sudah setengah hari ia menelusuri setiap sisi pembuangan sampah, tapi tak banyak yang ia dapat. Hanya beberapa botol plastik bekas minuman. Selebihnya sampah sisa makanan dengan bau menyengat. Mungkin kemarin sore tidak ada mobil yang membuang sampah di sini, pikir Joko membuang penat.
Menjelang sore ia tinggalkan tempat itu. Mukanya yang lelah mulai terlihat murung. Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Seakan ikut membahasakan resah hati Joko. Dengan langkah lesu ia berjalan pulang. Digendongnya keranjang lusuh yang berisi botol plastik. Otaknya berputar putar. Membayang di pelupuk matanya wajah tuan Suryo. Bos pengumpul barang bekas tempat ia menjual hasil pulungannya. Wajah lelaki bermata besar dan berkumis tebal itu begitu akrab di benaknya. Apalagi bulan ini ia nunggak membayar cicilan utangnya, wajah itu makin sangar saat memandangnya masam.
Sebenarnya utang yang pernah ia pinjam tidak terlalu besar, tapi karena ia belum bisa melunasinya kini bunga utang itu menjadi berlipat-lipat. Bahkan, sepuluh kali lipat lebih besar dari utangnya semula.
Di tengah kegelisahan itu, bayangan wajah Budi dan Marni muncul seketika. Budi kini terbaring lemas. Tubuhnya yang kurus semakin ceking lantaran digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Hanya perutnya yang membuncit.
Sebelum berangkat memulung Joko sempat mencium kening Budi. Dibelainya rambut itu penuh kasih sayang.
"Bapak berangkat dahulu ya Nak, doakan hari ini dapat pulungan banyak."
"Inggih Pak, hati-hati. Kalau dapat pulungan banyak jangan lupa belikan Budi telur ayam, hari ini Budi pengin makan pakai telur dadar," Budi meminta dengan suara memelas.
Entah mengapa hari ini Budi ingin makan pakai telur. Padahal tak biasanya ia meminta seperti itu. Ia begitu paham ekonomi orang tuanya. Bapaknya yang hanya seorang pemulung barang bekas tidak bisa menyediakan lauk bergizi setiap hari. Paling paling telur sebulan sekali, itu pun kalau lagi dapat pulungan banyak.
Tak terasa hari beranjak petang. Langkah kakinya terus melaju menuju rumah tuan Suryo. Ia hendak menjual barang bekas hasil pulungannya. Saat melintas di depan toko kelontong, Joko melihat tumpukan kardus bekas di depan toko. Suasana toko saat itu benar-benar sepi. Di jalanan pun tak banyak orang yang berlalu lalang.
Dengan sedikit mengendus-endus Joko mendekati tumpukan kardus. Lembar demi lembar kardus bekas itu ia masukkan keranjang. Sudah belasan kardus yang ia ambil. Rencananya ia menjual kardus itu kepada tuan Suryo untuk menambah beberapa botol plastik bekas hasil pulungannya. Uangnya akan ia gunakan membeli sekilo beras, tiga butir telur ayam, dan sisanya untuk membeli bumbu dapur.
Tapi malang tak dapat ditolak. Keinginan Joko untuk membahagiakan hati istri dan anaknya mendadak buyar. Belum sempat ia meninggalkan tempatnya, pemilik toko telah muncul dari belakang.
"Maling. Maling. Maling."
Pemilik toko berteriak sekuat kuatnya. Joko yang terkejut panik bukan main. Wajahnya pucat bercampur takut dan bingung. Merasa dalam bahaya, ia pun lari sekencang kencangnya. Ia tak lagi memikirkan keranjang miliknya yang berisi botol dan kardus bekas.
Tapi sayang, massa yang mendengar teriakan pemilik toko langsung mengejarnya. Secepat kilat tubuh Joko jadi pelampiasan kekesalan massa. Mereka memukulinya tanpa belas kasihan. Bahkan tak memberinya kesempatan mengelak dan beralasan. Entah sudah berapa banyak pukulan yang mendarat ditubuhnya, ia tak bisa menghitung lagi.
Berkali-kali Joko memohon ampun, tapi massa yang sudah menjadi serigala kelaparan ini terus mencabik-cabik tubuhnya. Joko hanya bisa menangis menahan sakit yang teramat sangat. Darah segar pun mulai mengalir dari hidung dan telinganya.
"Bakar. Bakar. Bakar."
Teriakan massa yang kalut ini membuat detak jantungnya seakan terhenti. Perasaan takut mati menyelinap diantara rintihan lirihnya.
"Ampun, ampunilah saya. Saya mohon!" Joko memohon iba di antara riuh suara massa yang semakin memanas.
"Tenang. Semua tenang. Jangan main hakim sendiri, kita bawa ke kantor polisi saja biar kita tidak kena getahnya."
"Dibakar saja Pak Satpam, biar kapok. Dia kan maling yang udah bikin resah."
Warga yang belum puas melampiaskan amarahnya terus mendesak.
"Tidak. Kalau sampai dia mati, kita juga akan dipenjara. Apa kalian semua siap dipenjara?"
Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah hening. Setelah merenung sesaat, massa setuju untuk membawa Joko ke kantor polisi. Dengan kedua tangan terikat tali, Joko digiring menuju kantor polisi.
Tidak seorang pun menaruh iba padanya. Bahkan, mereka tak pernah bertanya mengapa dan untuk apa Joko mencuri kardus kardus bekas itu. Apakah untuk memperkaya diri? Bermegah-megahan? Bukan, Joko tidak tamak. Ia hanya ingin menukarnya dengan beras dan tiga butir telur ayam, tidak lebih.
Joko menundukkan wajahnya yang berlumuran darah saat melewati rumahnya dengan harapan Marni tak melihat. Tapi, ternyata Marni yang menunggunya sejak sore tak meluputkan pemandangan itu.
"Mas Joko, kamu kenapa Mas? Mas, kamu mau ke mana? Huuk, Huk.., Huk..!" Tangis Marni selaksa hujan yang tercurah dari langit. Ia berusaha memeluk tubuh suaminya yang penuh luka. Tapi massa yang membawa Joko tetap tak menggubris dan terus menahannya. Ratap Marni makin menjadi. Isak tangisnya membuat hati Joko tersayat. Ia hanya tertunduk lesu, membenamkan wajahnya pada kerikil kerikil tajam diatas jalan yang dilaluinya.
***
"Bapak, kapan bapak pulang? Bu, bapak di mana? Kapan bapak pulang?" Suara pelan itu terdengar hampir setiap malam. Dan suara itu pula yang membuat mata Marni selalu basah. Bocah malang yang terbaring didepan Marni itu tak pernah tahu di mana bapaknya kini. Marni selalu menutup-nutupinya karena tak ingin melihat Budi semakin sedih. Setiap Budi bertanya, Marni selalu mengatakan kalau Joko sedang merantau ke kota, mencari uang untuk biaya pengobatan Budi nanti.
Sudah sebulan Joko mendekam di kantor polisi. Di ubin tanpa tikar itu ia habiskan hari harinya yang begitu menyiksa. Entah berapa lama lagi ia akan menunggu sangkar besi ini, ia pun tak pernah tahu.
Polisi penjaga tahanan hanya mengatakan kalau ia nanti akan disidang. Tapi kapan, Polisi tersebut tidak bisa memastikan yang jelas menunggu waktu yang tepat.
Rasa jenuh dan bosan menjadi teman dalam ketidakpastian penantian Joko. Perasaan bersalah telah menelantarkan Marni dan Budi terus menghinggapi pikirannya. Sesal itu makin pahit saat terbayang wajah Budi yang terbaring lemas. Ia tak tahu seperti apa keadaannya, apakah masih bisa makan atau sedang berjuang melawan lapar.
Sepeninggal Joko, Marni kerja serabutan. Untuk menyambung hidup ia sering berbagi sebungkus nasi dengan Budi. Demi sebungkus nasi ini juga, Marni terpaksa meninggalkan Budi sendirian dengan sakit yang semakin kritis. Di siang yang begitu panas, Budi mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.
Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.
Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.
Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan undang-undang dengan uang.
Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan meringankan beban hukumnya.
Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar