Republika
Minggu, 16 September 2007
Penyesalan Marni
Cerpen: Humam S. Chudori
Sejak di-pehaka, Himawan sering sekali dirawat di rumah sakit. Penyakit asma yang dideritanya sering kambuh. Padahal, sebelum kena pehaka, ia jarang dirawat di rumah sakit kendati tiap bulan mesti mengunjungi dokter. Tragisnya, setelah empat kali dirawat di rumah sakit, Marni mengalami nasib serupa dengan suaminya -- kena pehaka. Sejak itu neraca keuangan keluarga Himawan mulai goncang.
"Jadi orang itu jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari rumah sakit, setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak, baru dua langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah melontarkan kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?" kata Marni lagi.
Himawan tak menyahut. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya. Rasanya ia ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya sendiri masih lemah.
Sebetulnya ia ingin langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar kata-kata istrinya itu tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya seperti berkunang-kunang. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di ruang tamu.
Rumah itu memang sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual. Sebelumnya beberapa perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga sudah mereka jual.
Sejak tak ada meja kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.
Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan. Setelah dua bulan dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan Marni mulai berubah.
Ketika pertama kali berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam -- seperti yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya labil. Itulah sebabnya lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat menikah.
Bukan sekali dua kali Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah nyleneh. Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan serba ingin menang sendiri. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.
Ketika Erna -- adik Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di tengah malam. Widodo pun mengabulkan permintaan Erna. Ia terpaksa mencari makanan yang diminta 'jabang bayi'.
Namun, alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencoba sesendok kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani menolak permintaan 'sang jabang bayi'.
Memang tidak sedikit orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada perubahan perilaku atau kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena perutnya terasa mual.
Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.
Ketika masih bekerja, Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan rumahnya -- kalau dirinya tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah bisa tercukupi.
"Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka belum di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.
"Sama saja, Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian, "Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir tapi sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu bekerja lagi seperti saya."
Apabila Marni sudah mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan maupun Marni -- masih aktif bekerja. Mereka masih punya penghasilan. Namun, setelah di-pehaka Marni tak berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.
Walaupun demikian, toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali Rita.
Sejak di-pehaka, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat. Kedua, pendidikannya pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah lain. Ijazah dari kursus ketrampilan, misalnya.
Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak bioskop yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi. Gulung tikar.
Untungnya, Hendy, ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-anknya, termasuk Himawan. Sebuah rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil kontrakan itulah keluarga Himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meski tidak cukup juga.
"Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang pertanyaan sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata pun.
Himawan masih duduk mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur. "Orang ditanya istri kok diam saja."
"Rumah warisan bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar. Setelah ia berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.
"Sudah gila kamu, Mas?"
"Tadi kamu tanya barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan bapak masih laku dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita. Paling tidak dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah. "Jika nanti kurang ya rumah ini yang kita jual."
Marni diam.
"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya. Suaranya gemetar.
"Mas!"
"Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su... sudah tua...."
Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia terjatuh. Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup rapat. Nafasnya berhenti.
Dengan terbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita, tetangga depan rumahnya. Ada nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa yang telah menyebabkan Himawan menghembuskan napas terakhirnya.
"Andaikata akan begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.
"Ya, sabar saja, Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."
"Masalahnya bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja."
Rita masih diam.
"Untungnya, dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa dua kali lipat lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat. Terlambat berobat, ia harus dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.
"Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak...."
"Maaf," Rita memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya sakit. Ingin buang air."
Dengan tergopoh-gopoh Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni selanjutnya. Kedatangan Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak menghibur sang tetangga yang belum genap seminggu ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar ceritanya Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.
Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi karena almarhum masih meninggalkan utang, pikir Rita.***
"Jadi orang itu jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari rumah sakit, setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak, baru dua langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah melontarkan kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?" kata Marni lagi.
Himawan tak menyahut. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya. Rasanya ia ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya sendiri masih lemah.
Sebetulnya ia ingin langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar kata-kata istrinya itu tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya seperti berkunang-kunang. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di ruang tamu.
Rumah itu memang sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual. Sebelumnya beberapa perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga sudah mereka jual.
Sejak tak ada meja kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.
Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan. Setelah dua bulan dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan Marni mulai berubah.
Ketika pertama kali berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam -- seperti yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya labil. Itulah sebabnya lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat menikah.
Bukan sekali dua kali Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah nyleneh. Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan serba ingin menang sendiri. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.
Ketika Erna -- adik Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di tengah malam. Widodo pun mengabulkan permintaan Erna. Ia terpaksa mencari makanan yang diminta 'jabang bayi'.
Namun, alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencoba sesendok kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani menolak permintaan 'sang jabang bayi'.
Memang tidak sedikit orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada perubahan perilaku atau kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena perutnya terasa mual.
Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.
Ketika masih bekerja, Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan rumahnya -- kalau dirinya tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah bisa tercukupi.
"Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka belum di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.
"Sama saja, Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian, "Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir tapi sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu bekerja lagi seperti saya."
Apabila Marni sudah mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan maupun Marni -- masih aktif bekerja. Mereka masih punya penghasilan. Namun, setelah di-pehaka Marni tak berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.
Walaupun demikian, toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali Rita.
Sejak di-pehaka, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat. Kedua, pendidikannya pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah lain. Ijazah dari kursus ketrampilan, misalnya.
Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak bioskop yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi. Gulung tikar.
Untungnya, Hendy, ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-anknya, termasuk Himawan. Sebuah rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil kontrakan itulah keluarga Himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meski tidak cukup juga.
"Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang pertanyaan sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata pun.
Himawan masih duduk mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur. "Orang ditanya istri kok diam saja."
"Rumah warisan bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar. Setelah ia berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.
"Sudah gila kamu, Mas?"
"Tadi kamu tanya barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan bapak masih laku dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita. Paling tidak dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah. "Jika nanti kurang ya rumah ini yang kita jual."
Marni diam.
"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya. Suaranya gemetar.
"Mas!"
"Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su... sudah tua...."
Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia terjatuh. Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup rapat. Nafasnya berhenti.
Dengan terbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita, tetangga depan rumahnya. Ada nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa yang telah menyebabkan Himawan menghembuskan napas terakhirnya.
"Andaikata akan begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.
"Ya, sabar saja, Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."
"Masalahnya bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja."
Rita masih diam.
"Untungnya, dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa dua kali lipat lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat. Terlambat berobat, ia harus dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.
"Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak...."
"Maaf," Rita memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya sakit. Ingin buang air."
Dengan tergopoh-gopoh Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni selanjutnya. Kedatangan Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak menghibur sang tetangga yang belum genap seminggu ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar ceritanya Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.
Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi karena almarhum masih meninggalkan utang, pikir Rita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar