Republika
Minggu, 27 Januari 2008
Guru Mengaji
Cerpen Humam S. Chudori
Sudah sepekan anak-anak yang mengaji di masjid Nurul Iman tidak ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana ke mari. Sudah lima hari ini tidak satu pun ada guru mengaji yang mengajar di sana.
Meskipun anak-anak yang mengaji dikenai infak bulanan. Namun, hasilnya sangat tidak memadai untuk honor guru mengaji yang mengajar. Itu sebabnya setiap bulan Tarmidzi terpaksa minta subsidi dari kas masjid. Namun, yang dilakukan Tarmidzi menimbulkan masalah.
Sudah beberapa bulan ini, Neneng - istri Tarmidzi - mendengar kabar yang tidak menyenangkan tentang suaminya, bahwa Tarmidzi mau berkiprah di masjid yang belum sepenuhnya jadi karena ingin menangguk keuntungan dari sana.
Untuk mengklarifikasi masalah itu, Tarmidzi minta kepada ketua pengurus masjid untuk mengumpulkan semua pengurus, tokoh masyarakat, serta para ketua RT. Lelaki berkacamata minus itu ingin menjelaskan kenapa setiap bulan dirinya terpaksa meminta subsidi dari uang kas masjid. Kenapa pula tenaga pengajar anak-anak di masjid itu sering berganti. Tarmidzi tidak ingin apa yang dilakukannya selama ini justru menimbulkan fitnah.
"Itu sebabnya saya terpaksa harus ganti-ganti guru ngaji. Karena, jika mereka mendapat pekerjaan dapat dipastikan akan mengundurkan diri," kata Tarmidzi setelah memaparkan panjang lebar tentang keadaan anak-anak yang mengaji di masjid.
"Sebetulnya honor guru ngaji di sini tak lebih dari sekedar ucapan terimakasih. Sebab, andaikata setiap guru ngaji datang ke sini dengan menggunakan kendaraan umum, honor itu tidak cukup untuk biaya transport. Hanya saja, karena belum berkeluarga, mereka tidak pernah mempersoalkan honor yang mereka terima," lanjut Tarmidzi.
"Oh, jadi guru ngaji sekarang sudah kenal duit?" celetuk Zulfar. "Soalnya di kampung saya dulu, asal ada lampu sentir, anak-anak sudah bisa mengaji," tambah Zulfar, "Karena dulu orang mengajar ngaji nawaitunya lillahi ta'ala."
Tiba-tiba pertemuan itu menjadi kaku. Semua orang terlihat tegang setelah mendengar lontaran kalimat ketua RW itu. Tarmidzi yang paling tegang. Telinganya terasa panas mendengar ucapan Zulfar. Karena merasa dipojokkan, Tarmidzi marah. Ingin rasanya ia menghajar mulut suami Irawati itu.
Untuk menetralisir kemarahannya, Tarmidzi istighfar dalam batin. "Bagi orang yang tidak pernah mengaji atau orang bakhil, nawaitu lillahi ta'ala sengaja disalahtafsirkan. Sebab, dengan cara menyimpangkan makna lillahi ta'ala, orang bisa seenaknya memperlakukan guru ngaji. Guru agama pun khawatir dianggap tidak ikhlas apabila menuntut hak yang layak. Padahal mereka tetap mempunyai kewajiban yang sama dengan orang lain. Memberi nafkah, menyediakan perumahan, menyekolahkan anaknya, membayar cicilan rumah, dan lain-lain," ujar Tarmidzi setelah berhasil meredam kekesalannya.
"Anak seorang dai tetap perlu membayar uang sekolah dan membeli keperluan sekolah. Istri seorang muballigh bila membeli beras maupun sayuran tidak hanya separuh harga. Rumah seorang kyai, ajengan, atau seh tetap membayar rekening listrik kepada PLN. Jika menggunakan pesawat telepon juga tidak gratis. Nah, barangkali Pak RW bisa mencari guru mengaji yang tidak mempunyai kewajiban seperti itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Tarmidzi, orang-orang yang ada di tempat itu tercenung. Sebelum orang lain bicara lagi. Tarmidzi kembali buka suara, "Mulai sekarang saya kembalikan kepercayaan bapak-bapak kepada saya untuk mengurus anak yang mengaji di sini. Barangkali Pak Zulfar bisa mencari guru ngaji yang tidak perlu membayar cicilan rumah, atau ustad yang istrinya kalau belanja hanya separuh harga, dan anak-anaknya bisa digratiskan sekolahnya. Dengan demikian, kas masjid tidak akan berkurang untuk membayar honor guru ngaji."
Tarmidzi menyerahkan berkas-berkas kepada Baharudin, ketua pengurus masjid. Baharudin sama sekali tidak bertanya kenapa berkas-berkas itu diserahkan lelaki yang duduk di sebelahnya. Tarmidzi lantas pulang. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana. Tarmidzi ingin menghindari mujadalah dengan orang-orang di masjid.
Esoknya tak ada guru mengaji yang datang ke masjid. Anak-anak menjadi tak terurus. Mereka hanya berlarian ke sana kemari di dalam masjid, dan membuat orang-orang yang ada di sana jengkel. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Baharudin mendatangi Tarmidzi. Minta kesediaannya untuk kembali menjadi pengurus masjid, dan bersedia menghubungi tenaga pengajar ngaji lagi. Namun, Tarmidzi terlanjur kecewa.
"Lebih baik Pak Bahar cari pengganti saya atau bereskan dulu pembangunan fisik masjid. Masjid kan masih banyak butuh biaya. Kalau pengajian anak-anak dihidupkan lagi justru akan mengurangi kas masjid. Uang yang seharusnya untuk beli semen atau pasir akan terpakai untuk honor guru ngaji," ujar Tarmidzi.
"Tapi...."
"Atau begini saja, Pak," potong Tarmidzi, "Nanti kalau ekonomi saya sudah mapan, saya sudah jadi orang kaya, saya bersedia diserahi seksi pendidikan anak-anak. Dengan demikian saya tak akan membebani kas masjid untuk honor pengajar."
"Apakah Pak Tarmidzi tidak...."
"Ini keputusan saya, Pak," untuk kedua kalinya Tarmidzi memotong kalimat Baharudin, "Saya akan berkiprah lagi di masjid jika ekonomi saya sudah mapan. Kalau tidak, lebih baik saya jadi jamaah saja, Pak."
Malam itu, rumah Baharudin dipenuhi tokoh masyarakat. Mereka tengah membicarakan nasib anak-anak di masjid Nurul Iman. Sudah sepekan anak-anak tak ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana, karena tak ada guru mengaji yang datang.
"Kalau masalahnya seperti itu, biar nanti anak-anak kami yang mengurus," ujar Hasan setelah mendengar penjelasan Baharudin.
"Ya, saya juga bisa membantu Pak Hasan," kata Ali.
"Betul apa kata Pak Hasan sama Pak Ali. Masa, kita-kita tidak ada yang mengurus anak-anak. Nanti saya juga bisa ngajar, kok," sambut Royani. "Pokoknya kalau masalah ibadah yang penting kita ikhlas. Semuanya akan jadi beres," tambah Sulaeman.
"Yang jelas, uang kas masjid jangan sampai diutak-utik. Biar pemasukan dari tromol infak atau yang lainnya untuk pembangunan masjid," tukas yang lain lagi, "Saya yakin orang yang menyumbang pasti untuk kepentingan pembangunan masjid. Bukan untuk honor guru ngaji."
Setelah berbagai pendapat dikemukakan. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap melanjutkan pengajian anak-anak di masjid Nurul Iman. Tenaga pengajarnya adalah mereka yang telah menyatakan kesediaan menggantikan Tarmidzi dan kawan-kawannya. Mereka itu adalah Hasan, Ali, Royani, Mukhlis, dan Topik.
Namun, lima orang itu ternyata tidak sanggup mengurusi anak-anak. Setelah mereka pegang, pengajian anak-anak hanya bisa bertahan setengah bulan. Setelah itu tidak ada yang mau dipasrahi mengurus pengajian anak-anak. Akibatnya, anak-anak di kompleks perumahan itu tak ada lagi yang mengaji.
Setelah Tarmidzi berhenti mengajar ngaji, sejak itu pula masjid Nurul Iman tak ada kegiatan pengajian anak-anak lagi. Karena menjadi pengajar ngaji tidak semudah yang mereka bayangkan. Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani mendatangkan guru ngaji anak-anak dari luar penghuni kompleks. Mereka khawatir dianggap mencari keuntungan di balik semua yang dilakukannya.
Masjid yang berdiri di tengah kompleks perumahan itu makin megah. Bangunan tempat ibadah itu makin sempurna. Namun, tak ada rohnya. Sebab, tak ada kegiatan apa pun di sana kecuali hanya untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat. Tiap shalat lima waktu pun hanya ada satu shaf yang berdiri di belakang imam. Itu pun jarang sekali penuh satu baris.
Kendati demikian, segenap pengurus masjid merasa bangga. Lantaran, bangunan itu lebih indah dan lebih megah dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya. ***
Meskipun anak-anak yang mengaji dikenai infak bulanan. Namun, hasilnya sangat tidak memadai untuk honor guru mengaji yang mengajar. Itu sebabnya setiap bulan Tarmidzi terpaksa minta subsidi dari kas masjid. Namun, yang dilakukan Tarmidzi menimbulkan masalah.
Sudah beberapa bulan ini, Neneng - istri Tarmidzi - mendengar kabar yang tidak menyenangkan tentang suaminya, bahwa Tarmidzi mau berkiprah di masjid yang belum sepenuhnya jadi karena ingin menangguk keuntungan dari sana.
Untuk mengklarifikasi masalah itu, Tarmidzi minta kepada ketua pengurus masjid untuk mengumpulkan semua pengurus, tokoh masyarakat, serta para ketua RT. Lelaki berkacamata minus itu ingin menjelaskan kenapa setiap bulan dirinya terpaksa meminta subsidi dari uang kas masjid. Kenapa pula tenaga pengajar anak-anak di masjid itu sering berganti. Tarmidzi tidak ingin apa yang dilakukannya selama ini justru menimbulkan fitnah.
"Itu sebabnya saya terpaksa harus ganti-ganti guru ngaji. Karena, jika mereka mendapat pekerjaan dapat dipastikan akan mengundurkan diri," kata Tarmidzi setelah memaparkan panjang lebar tentang keadaan anak-anak yang mengaji di masjid.
"Sebetulnya honor guru ngaji di sini tak lebih dari sekedar ucapan terimakasih. Sebab, andaikata setiap guru ngaji datang ke sini dengan menggunakan kendaraan umum, honor itu tidak cukup untuk biaya transport. Hanya saja, karena belum berkeluarga, mereka tidak pernah mempersoalkan honor yang mereka terima," lanjut Tarmidzi.
"Oh, jadi guru ngaji sekarang sudah kenal duit?" celetuk Zulfar. "Soalnya di kampung saya dulu, asal ada lampu sentir, anak-anak sudah bisa mengaji," tambah Zulfar, "Karena dulu orang mengajar ngaji nawaitunya lillahi ta'ala."
Tiba-tiba pertemuan itu menjadi kaku. Semua orang terlihat tegang setelah mendengar lontaran kalimat ketua RW itu. Tarmidzi yang paling tegang. Telinganya terasa panas mendengar ucapan Zulfar. Karena merasa dipojokkan, Tarmidzi marah. Ingin rasanya ia menghajar mulut suami Irawati itu.
Untuk menetralisir kemarahannya, Tarmidzi istighfar dalam batin. "Bagi orang yang tidak pernah mengaji atau orang bakhil, nawaitu lillahi ta'ala sengaja disalahtafsirkan. Sebab, dengan cara menyimpangkan makna lillahi ta'ala, orang bisa seenaknya memperlakukan guru ngaji. Guru agama pun khawatir dianggap tidak ikhlas apabila menuntut hak yang layak. Padahal mereka tetap mempunyai kewajiban yang sama dengan orang lain. Memberi nafkah, menyediakan perumahan, menyekolahkan anaknya, membayar cicilan rumah, dan lain-lain," ujar Tarmidzi setelah berhasil meredam kekesalannya.
"Anak seorang dai tetap perlu membayar uang sekolah dan membeli keperluan sekolah. Istri seorang muballigh bila membeli beras maupun sayuran tidak hanya separuh harga. Rumah seorang kyai, ajengan, atau seh tetap membayar rekening listrik kepada PLN. Jika menggunakan pesawat telepon juga tidak gratis. Nah, barangkali Pak RW bisa mencari guru mengaji yang tidak mempunyai kewajiban seperti itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Tarmidzi, orang-orang yang ada di tempat itu tercenung. Sebelum orang lain bicara lagi. Tarmidzi kembali buka suara, "Mulai sekarang saya kembalikan kepercayaan bapak-bapak kepada saya untuk mengurus anak yang mengaji di sini. Barangkali Pak Zulfar bisa mencari guru ngaji yang tidak perlu membayar cicilan rumah, atau ustad yang istrinya kalau belanja hanya separuh harga, dan anak-anaknya bisa digratiskan sekolahnya. Dengan demikian, kas masjid tidak akan berkurang untuk membayar honor guru ngaji."
Tarmidzi menyerahkan berkas-berkas kepada Baharudin, ketua pengurus masjid. Baharudin sama sekali tidak bertanya kenapa berkas-berkas itu diserahkan lelaki yang duduk di sebelahnya. Tarmidzi lantas pulang. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana. Tarmidzi ingin menghindari mujadalah dengan orang-orang di masjid.
Esoknya tak ada guru mengaji yang datang ke masjid. Anak-anak menjadi tak terurus. Mereka hanya berlarian ke sana kemari di dalam masjid, dan membuat orang-orang yang ada di sana jengkel. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Baharudin mendatangi Tarmidzi. Minta kesediaannya untuk kembali menjadi pengurus masjid, dan bersedia menghubungi tenaga pengajar ngaji lagi. Namun, Tarmidzi terlanjur kecewa.
"Lebih baik Pak Bahar cari pengganti saya atau bereskan dulu pembangunan fisik masjid. Masjid kan masih banyak butuh biaya. Kalau pengajian anak-anak dihidupkan lagi justru akan mengurangi kas masjid. Uang yang seharusnya untuk beli semen atau pasir akan terpakai untuk honor guru ngaji," ujar Tarmidzi.
"Tapi...."
"Atau begini saja, Pak," potong Tarmidzi, "Nanti kalau ekonomi saya sudah mapan, saya sudah jadi orang kaya, saya bersedia diserahi seksi pendidikan anak-anak. Dengan demikian saya tak akan membebani kas masjid untuk honor pengajar."
"Apakah Pak Tarmidzi tidak...."
"Ini keputusan saya, Pak," untuk kedua kalinya Tarmidzi memotong kalimat Baharudin, "Saya akan berkiprah lagi di masjid jika ekonomi saya sudah mapan. Kalau tidak, lebih baik saya jadi jamaah saja, Pak."
Malam itu, rumah Baharudin dipenuhi tokoh masyarakat. Mereka tengah membicarakan nasib anak-anak di masjid Nurul Iman. Sudah sepekan anak-anak tak ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana, karena tak ada guru mengaji yang datang.
"Kalau masalahnya seperti itu, biar nanti anak-anak kami yang mengurus," ujar Hasan setelah mendengar penjelasan Baharudin.
"Ya, saya juga bisa membantu Pak Hasan," kata Ali.
"Betul apa kata Pak Hasan sama Pak Ali. Masa, kita-kita tidak ada yang mengurus anak-anak. Nanti saya juga bisa ngajar, kok," sambut Royani. "Pokoknya kalau masalah ibadah yang penting kita ikhlas. Semuanya akan jadi beres," tambah Sulaeman.
"Yang jelas, uang kas masjid jangan sampai diutak-utik. Biar pemasukan dari tromol infak atau yang lainnya untuk pembangunan masjid," tukas yang lain lagi, "Saya yakin orang yang menyumbang pasti untuk kepentingan pembangunan masjid. Bukan untuk honor guru ngaji."
Setelah berbagai pendapat dikemukakan. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap melanjutkan pengajian anak-anak di masjid Nurul Iman. Tenaga pengajarnya adalah mereka yang telah menyatakan kesediaan menggantikan Tarmidzi dan kawan-kawannya. Mereka itu adalah Hasan, Ali, Royani, Mukhlis, dan Topik.
Namun, lima orang itu ternyata tidak sanggup mengurusi anak-anak. Setelah mereka pegang, pengajian anak-anak hanya bisa bertahan setengah bulan. Setelah itu tidak ada yang mau dipasrahi mengurus pengajian anak-anak. Akibatnya, anak-anak di kompleks perumahan itu tak ada lagi yang mengaji.
Setelah Tarmidzi berhenti mengajar ngaji, sejak itu pula masjid Nurul Iman tak ada kegiatan pengajian anak-anak lagi. Karena menjadi pengajar ngaji tidak semudah yang mereka bayangkan. Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani mendatangkan guru ngaji anak-anak dari luar penghuni kompleks. Mereka khawatir dianggap mencari keuntungan di balik semua yang dilakukannya.
Masjid yang berdiri di tengah kompleks perumahan itu makin megah. Bangunan tempat ibadah itu makin sempurna. Namun, tak ada rohnya. Sebab, tak ada kegiatan apa pun di sana kecuali hanya untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat. Tiap shalat lima waktu pun hanya ada satu shaf yang berdiri di belakang imam. Itu pun jarang sekali penuh satu baris.
Kendati demikian, segenap pengurus masjid merasa bangga. Lantaran, bangunan itu lebih indah dan lebih megah dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya. ***