Entri Populer

Senin, 13 Juni 2011

Embun, Cinta, dan Sepasang Sayap Jelita


Media Indonesia
Minggu, 27 Januari 2002

Embun, Cinta, dan Sepasang Sayap Jelita
Cerpen: Teguh Winarsho AS

1.EMBUN pagi masih berkerendahan di kaca jendela, mengeremang seperti pandangan mata manis, saat Elina menggeliat baru bangun tidur. Mata Elina masih kuyu seperti mata kupu-kupu. Tetapi bola mata mungil itu segera mengerjap haru saat menatap embun di jendela kamarnya yang putih seperti guguran salju. Membuat khayal Elina melambung jauh, membayangkan suatu saat nanti bisa pergi ke sebuah tempat yang penuh salju. Mungkin di sebuah bukit yang tinggi atau jurang yang dalam sehingga yang tampak hanya warna kelam kelabu.Tetapi khayalan itu hingga kini belum pernah terwujud. Membuat Elina kerap cemberut bersungut-sungut. "Tuhan tidak adil, sebab tidak mau berbagi!" Seiring Elina mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan bibir pucat membiru.Lain waktu, dengan kemarahan meledak-ledak Elina menghapus embun di jendela kamarnya. Jendela kaca yang semula buram itu menjadi bening, bersih. "Aku tak mau kami tipu! Elina berseru. Napasnya sengal, memburu. Matanya merah menyimpan amarah sekaligus rasa ngilu.EMBUN di jendela kamar Elina sudah lama tidak muncul. Tetapi Elina tidak sedih atau kecewa. Sebab, Elina memang sudah tidak suka melihat embun dan juga tidak ingin pergi ke sebuah tempat bersalju. Elina justru ingin menjadi seekor burung yang bisa terbang ke langit biru. Dari jendela kaca kamarnya yang kini selalu bening, setiap kali bangun tidur Elina suka menatap burung-burung yang berkicau di ranting pohon jambu samping rumah. Burung-burung itu, meski tubuhnya kecil tapi bisa terbang tinggi. Elina juga ingin bisa terbang tinggi seperti burung-burung itu. Karenanya, setiap kali mau berangkat tidur, Elina selalu berdoa agar ketika bangun nanti ia sudah menjadi seekor burung. Tetapi lagi-lagi Elina kecewa sebab setiap kali bangun tidur dirinya masih belum berubah menjadi seekor burung.Elina putus asa. Ia kemudian malas berdoa. Kalaupun sesekali ia masih berdoa itu hanya dilakukan iseng-iseng belaka. Elina tahu, Tuhan pasti tidak akan memperhatikan dia dari mulut iseng. Tetapi pagi ini Elina sangat terkejut. Ketika semalam ia tidak berdoa, bahkan yang iseng sekalipun, pagi ini ia justru mendapati sepasang sayap mungil tumbuh di punggungnya. Sepasang sayap dengan bulu-bulu halus berwarna putih dengan garis-garis biru dan ungu melengkung tipis saling bersinggungan di kedua sisi dalamnya.Apakah aku mimpi? Tanya Elina dalam hati. Takjub. Heran. Di depan cermin Elina terus menggosok-gosok mata, ingin meyakinkan penglihatannya. Tidak salah! Sepasang sayap itu benar-benar tumbuh di punggungnya. Sepasang sayap mungil dengan bulu-bulu putih halus tampak indah memesona. Pelan, gemetar, jari-jari Elina menyentuh kedua ujung sayap itu. Terasa dingin seperti baru dimasukkan dalam kulkas.Tapi, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Keras seperti digedor. Elina kaget, buru-buru mengenakan baju, menyembunyikan sepasang sayap di punggungnya. Elina tahu, hanya Mama di rumah ini yang suka menggedor pintu seperti seorang perampok. Tak sempat naik kursi roda, Elina menggelesot di lantai membuka pintu kamar. Benar. Seraut wajah berminyak dan sepasang bola mata melotot sudah berdiri di depan pintu. Berkacak pinggang. Elina gemetar, merunduk. Tubuhnya seperti mau ambruk."Dasar anak pemalas! Jam segini baru bangun!" Mama menjewer telinga Elina. Selalu begitu setiap Elina bangun kesiangan. Tapi Elina tidak meronta. Sebab Elina tak ingin tangan Mama yang penuh logam kuning bergemerincing itu melayang menggampar mukanya. Elina tetap merunduk, tunduk. Lalu, ketika Mama beringsut masuk kamar, perlahan Elina menggelesot menghampiri kursi roda di samping tempat tidurnya. Elina tahu apa yang harus dilakukannya pagi-pagi begini, yaitu membuat kopi untuk Mama. Mama pasti capek selalu setelah semalaman bekerja dan baru pulang subuh tadi.Tapi, baru beberapa detik, Mama sudah tidak sabar, berteriak serak dalam kamar. "Cepat sedikit, Elina!" Membuat Elina kikuk, tergesa-gesa. Ya, pekerjaannya sering tidak pernah sempurna, justru karena Mama tidak sabar, ingin cepat selesai. Tapi...hmmm, secangkir kopi panas itu telah siap dihidangkan dan aromanya segera meyebar memenuhi seluruh ruangan, menyelusup ke celah-celah lubang masuk ke dalam kamar Mama.PAGI cerah. Mama pergi. Seperti biasa Elina mendorong kursi rodanya ke teras depan, dan dari sela-sela rimbun pohon bunga yang tumbuh di halaman, ia akan melihat teman-teman sebayanya berangkat sekolah. Elina, 14 tahun. Mestinya ia juga sudah sekolah dan bahkan duduk di bangku kelas dua SMP. Tapi Mama selalu meludah setiap kali mengutarakan keinginannya untuk sekolah. Mama bilang, hanya orang-orang bodoh saja yang masih perlu sekolah. Sedang dirinya, kata Mama, bukan orang bodoh, karenanya tak perlu sekolah.Setiap hari Elina dikurung di dalam rumah. Tak boleh keluar untuk alasan apa pun. Tapi pernah suatu kali diam-diam Elina pergi ke rumah Neti, tetangga sebelah, yang mau mengajari membaca, menulis, dan berhitung. Tapi baru delapan kali pertemuan, pada pertemuan terakhir, Mama datang dengan pentungan kayu. "Kamu sudah pintar, Elina! Tak perlu belajar!" Mama mendengus. Sejak itu Elina takut keluar rumah. Paling, pagi-pagi, ia hanya duduk di teras depan melihat teman-teman sebanyanya berangkat sekolah lalu kembali masuk ke dalam rumah.Tapi, sudah beberapa hari ini Elina sering menghabiskan waktunya seharian di teras depan. Bukan untuk melihat teman-teman sebayanya yang mau berangkat sekolah. Bukan. Tapi untuk mencuri pandang seraut wajah laki-laki yang kerap muncul dari pintu rumah seberang jalan; berambut klimis, mengenakan kacamata tipis, tersenyum manis, sesekali melambaikan tangan. Ya, Elina suka menatap laki-laki itu. Membuat jantungnya berdegup keras saat tanpa sengaja bola matanya beradu dengan bola mata milik laki-laki itu. Dan, begitulah, suatu perasaan aneh tiba-tiba menjalar kuat di benak Elina membuat dunia sekelilingnya terasa indah.SEMAKIN hari sepasang sayap di punggung Elina tumbuh semakin panjang dengan bulu-bulu yang kuat dan kukuh. Dulu Elina pernah ingin memotong sepasang sayap itu karena takut ketahuan Mama. Mama pasti akan marah besar jika tahu di punggungnya tumbuh sepasang sayap. Tapi niat itu segera diurungkan karena Elina sadar dirinya akan menjadi jelek tanpa sepasang sayap itu. Memang agak repot, sebab ia harus mengenakan pakaian longgar supaya tidak ketahuan Mama.Ini adalah hari kesepuluh sejak sepasang sayap itu tumbuh di punggung Elina. Elina suka menatap berlama-lama sepasang sayap itu lewat cermin di kamarnya atau ketika sedang mandi. Elina juga mengelus-elusnya. Elina merasa dirinya setiap hari terus bertambah cantik dengan sepasang sayap itu. Membuat perasaannya melambung bahagia. Apalagi, ya, apalagi. Tiga hari lalu, laki-laki berkaca mata tipis seberang jalan secara mengejutkan datang ke rumah ketika Mama sedang pergi ke luar kota.Di mata Elina, laki-laki itu cukup tampan, sopan, dan ramah. Rambutnya disisir rapi ke belakang, jidatnya tampak licin, mengilat. Elina menduga laki-laki itu pasti pintar dan suka membaca buku.Sejak pertemuan itu, laki-laki itu sering datang ke rumah Elina. Laki-laki itu seperti tahu kapan Mama Elina pergi ke luar kota. Kadang laki-laki itu seharian menemani Elina duduk di teras depan; ngobrol, tertawa-tawa. Tapi, lama-lama laki-laki itu bosan duduk di teras depan. Apalagi ketika suatu hari turun hujan lebat disertai angin kencang, laki-laki itu punya alasan untuk masuk ke dalam rumah, nonton televisi di ruang tengah. Tapi acara televisi yang hanya itu-itu saja cepat membuat laki-laki itu jengah. Laki-laki itu kemudian minta izin ingin melihat kamar Elina. Sekadar melihat-lihat saja. Elina tidak keberatan. Ya, tak ada sesuatu yang tak diizinkan Elina untuk laki-laki itu. Tak terkecuali ketika suatu hari laki-laki itu mencium pipi Elina....Dan, begitulah. Waktu terus bergulir. Detak jam terus berputar. Mama lebih sering pergi ke luar kota untuk sebuah urusan yang tak pernah dimengerti Elina. Dan, laki-laki seberang jalan itu juga sering datang ke rumah Elina. Mereka kini lebih suka ngobrol di dalam kamar ketimbang di teras depan atau di ruang tengah. Tapi, kian lama mereka kian kehabisan bahan obrolan. Kata-kata cinta sudah habis diucapkan. Bunga-bunga sudah tumbuh bermekaran. Tak ada yang perlu diragukan. Elina sendiri kemudian lebih banyak diam. Termasuk ketika suatu hari laki-laki itu memeluknya lalu mendorong tubuhnya hingga terjerembap di atas ranjang....Tapi, Mama bukan orang bodoh. Dengan cepat Mama mampu mengendus gelagat Elina. Mama marah besar. Suatu malam Mama mendatangi Elina yang tengah asyik rebahan di atas kasur. "Elina!" suara Mama melengking seperti gelas terbanting. "Sudah kuperingatkan berkali-kali kamu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun juga! Termasuk laki-laki seberang jalan itu! Ngerti?" Malam itu juga Mama mengurung Elina di dalam kamar. Elina sedih. Setiap hari menangis.Kesedihan Elina semakin menjadi-jadi ketika ia ingat laki-laki seberang jalan itu. Elina rindu ingin ketemu laki-laki itu. Elina ingin menatap mata laki-laki itu yang lembut menggetarkan, mampu memberinya ketenteraman. Elina ingin bercanda, tertawa, dan ...ups! Tiba-tiba Elina diingatkan sesuatu tepat saat tangannya meraba perutnya. Perutnya terasa mual mulas dan seperti mau muntah. Kenapa? Ada apa? Mata Elina menerawang menatap langit-langit kamar. Langit-langit kamar yang dulu putih bersih itu kini telah menjadi kusam, retak-retak, seperti suasana hatinya.SEMAKIN hari kerinduan Elina semakin tak tertahankan. Elina tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, menyurukkan kesedihannya di lipatan bantal. Jendela kamarnya terlalu tinggi untuk ukuran dirinya yang cacat, lumpuh. Seandainya kakinya tidak lumpuh tentu ia sudah meloncat jendela menemui laki-laki seberang jalan itu. Ah, betapa kejamnya Mama, hanya jatuh cinta saja dilarang! batin Elina kesal, mengutuki nasibnya yang serbasial. Tapi, benarkah aku jatuh cinta? Elina kadang merasa tidak yakin jika perasaan yang menekan dadanya itu bernama cinta. Cinta? Hmmm. Betapa indahnya kalimat itu, seindah mentari pagi.Meski Elina dikurung di dalam kamar, tapi cintanya terus mekar. Cinta Elina terus mekar seiring sayap di punggungnya yang tumbuh kian kuat, kukuh, dan lebar. Ya, ya, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa melarang seseorang jatuh cinta, meski orang itu adalah ibu kandung sendiri. Demikian Elina. Maka, pada suatu hari yang bahagia, ketika Mama sedang pergi ke luar kota, sepasang sayap di punggung Elina tiba-tiba mengepak pelan hingga angin berdesir memenuhi kamar. Lalu, mengepak lebih kencang lagi hingga tubuh Elina perlahan-lahan terangkat ke atas. Ke atas. Elina bisa terbang!Elina tertawa bahagia. Meski kakinya lumpuh, dirinya bisa terbang. Tuhan telah memahkotai dirinya dengan sepasang sayap jelita sebagai ganti kedua kakinya yang lumpuh! Sejenak Elina berputar-putar mengitari kamar lalu melesat keluar lewat jendela, mengitari halaman mencumbui bunga-bunga. Saking bahagianya hingga Elina lupa dengan laki-laki seberang jalan itu. Tapi, begitu ingat, Elina langsung melesat menuju rumah seberang jalan ingin menemui laki-laki itu. Tetapi Elina terkejut saat mendapati laki-laki itu tengah bercinta dengan seorang gadis sebaya dirinya di bangku bawah pohon belakang rumah....

Dongeng untuk Anjeli


Suara Pembaruan
Minggu, 01 Juli 2007

Dongeng untuk Anjeli
Cerpen: Willy Hangguman

Telepon di atas meja kerja Nadia berdering. "Mami, jangan lupa dongengnya?" terdengar suara mungil se- orang anak perempuan.

"Tentu, Anjeli. Mami mempunyai dongeng yang istimewa," Nadia berjanji kepada putri sulungnya, Anjeli. Hari itu Anjeli genap enam tahun dan dia minta kado didongengi.

"Dongeng tentang apa, Mami?"

"Pondik."

"Apa itu?"

"Dongeng dari Manggarai, Flores, dari kampung Opa Yulman."

"Pondik itu, siapa?"

"Seorang laki-laki Manggarai yang dianggap bodoh, namun sebenarnya cerdas."

"Cepat pulang, ya, Mami! Anjeli sudah tak sabar ingin dengar ceritanya."

Hati Nadia pengap oleh rasa bahagia. Anjeli ternyata rindu pada dongengnya. Selama ini dia selalu merasa cemburu pada pesawat televisi yang ada di ruang keluarga. Anjeli suka cuek pada dirinya saat duduk di depan pesawat televisi. Malah dia lebih mentaati acara televisi daripada perintah orangtuanya. Televisi telah menjadi idolanya yang dengan sabar mendongeng untuknya. Televisi tak pernah mengeluh capek saat mendongeng. Tidak seperti ibunya yang suka mengeluh capek pulang kerja. Begitu juga bapaknya. Nadia merasa diejek televisi karena berhasil merebut Anjeli.

Nadia makin terkejut karena anaknya makin dikuasai oleh televisi. Ceritanya, suatu hari, seusai pulang taman kanak-kanak Anjeli menunjukkan gambar-gambar yang dibuatnya di sekolah dengan penuh semangat kepadanya.

"Mami, lihat ini," katanya sambil menunjukkan tiga lembar kertas gambar yang sangat ramai dengan pesta warna. Nadia memperhatikan gambar-gambar itu.

"Oi, anak mama ternyata sudah pandai menggambar," Nadia memuji.

"Bagus nggak, Ma?"

"Bagus sekali," dia memuji lalu menarik anak perempuan itu, memeluknya erat-erat, mencium kedua pipinya.

Setelah anaknya pergi bermain, Nadia memperhatikan kembali gambar-gambar yang dibuat oleh anaknya. Dia tersentak, televisi telah berhasil mengajarinya dengan gambar-gambar dari negeri asing, dari negeri televisi, dari negeri maya. Ada Doraemon, Satria Baja Hitam, Hercules dan Xena. Dia tidak menggambar ayam, bebek, kucing, dan burung. Dia tidak melukis Gatotkaca dan Anoman. Rasa cemburu dan geram mengguncang-guncangkan hati Nadia karena televisi telah berhasil merebut anaknya. Ingin dia mencampakkan pesawat televisi dari rumahnya. Namun itu tidak mungkin. Orang kota seperti dirinya membutuhkan televisi, sama seperti membutuhkan nasi dan sayur. Televisi telah menjadi bagian dari hidupnya, identitas dirinya.

Televisi telah berhasil menggusur dirinya dalam merebut hati Anjeli. Televisi memang penuh pesona. Dia menyadari televisi selalu lebih sabar dan ramah kepada Anjeli dibandingkan dengan dirinya. Televisi tak pernah marah, bila Anjeli tidak mengganti seragamnya setelah pulang sekolah. Dengan tangan terbuka dia mengatakan, "Datanglah kepadaku, dengarlah dongeng-dongengku sepuas-puasnya, Anjeli. Saya tidak peduli engkau belum mandi. Kalau engkau mendengarku sampai lupa makan, sampai lupa belajar, sampai lupa pekerjaan rumah yang ditugaskan Guru Omar Bakrii, sampai lupa ibu dan bapakmu juga, saya tidak marah. Saya siap menjadi orangtuamu.

"Ibumu, ayahmu telah membawa saya tinggal di rumah ini dan mendapat ruang penting dalam rumah, ruang keluarga. Saya merasa sangat terhormat, bisa menjadi bagian penting dari keluargamu. Saya hanya bisa berterima kasih dengan menawarkan mimpi-mimpi kepadamu. Nontonlah sekuat-kuatnya dan sepuas-puasnya. Dengarlah sekuat-kuatnya. Saya tidak mengenal lelah. Saya juga siap dibangunkan kapan saja untuk mendongeng. Kamu terlalu baik pada saya, Anjeli." Nadia sakit hati mendengar televisi mengejeknya.

Nadia pernah mencoba merebut anaknya dari pelukan televisi dengan dongeng Malin Kundangii, suatu kisah anak durhaka. Malin Kundang yang sudah sukses, tidak mau mengakui ibu kandungnya di depan istrinya yang cantik karena ibunya hanyalah seorang perempuan desa biasa. Anjeli tertarik. Nadia merasa bahagia.

"Anjeli sayang sama Mama, nggak?" tanya Nadia setelah mengakhiri dongennya.

"Sayang. Anjeli nggak mau jadi anak durhaka, Ma," jawab Anjeli. Matanya berkaca-kaca. Dulu, Malin Kundang juga membuat air mata Nadia berlinang karena terharu ketika ibunya mendongenginya. Bila ada paman atau bibinya yang datang ke rumahnya, Nadia selalu merengek minta didongengi. Bahagia rasanya bila omanya datang. Omanya pandai mendongeng. Dongengnya macam-macam. Nadia biasanya minta untuk tidur bersama omanya agar bisa menikmati dongeng yang lezat.

Sekarang, dia ingin mewariskan pengalaman masa kecilnya untuk putrinya sendiri, Anjeli. Dia tahu dongeng itu banyak manfaatnya bagi Anjeli. Dongeng menyiapkan ruang imajinasi untuk petualangan anaknya. Di ruang imajinasi itulah anaknya bisa bermain, mengembangkan pikirannya.

Televisi telah menyandera anak-anak kota besar, termasuk Anjeli, untuk tidak mau bermain, kecuali duduk takluk di depannya. Nadia sempat menolak rencana suaminya untuk membeli home theater yang mampu memanjakan mata dan telinga dengan gambar-gambar dan bunyi yang terasa live, di mana penontonnya merasa ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang ditayangkan di layar televisi. Dia menyadari, kenikmatan menonton akan membuat Anjeli makin betah mendengar dongeng dari televisi dan malas bermain. Kelak dia juga akan malas membaca. Televisi akan menjadi idola Anjeli. Nadia merasa sangat khawatir.

"Televisi tidak boleh menguasai anakku. Aku akan merebut dari pelukannya," geram hati Nadia. Dia mencemaskan anaknya menjadi manusia square eyes, menjadi manusia malang seperti Chips Gordon yang diperankan Jim Carrey dalam film The Cable Guy.

Nadia menyadari tidak mudah menjadi orangtua di zaman televisi. Pada masa kecilnya di Ruteng, tak ada televisi. Jangankan pesawatnya, kata televisi belum sampai ke sana. Ketika ayah Nadia membeli sebuah radio, rasanya bahagia luar biasa. Benda berbentuk seperti kotak itu mampu menangkap suara dari RRI Jakarta dan RRI Makassar, bahkan suara dari benua lain seperti BBC London, Hilversum Belanda, Deutche Welle Jerman, dan Radio Australia dari Melbourne, Australia. Benda itu membuat Nadia terkagum-kagum pada radio.

Pernah dia berpikir, mereka yang berbicara dan menyanyi di radio tentu tinggal di dalam kotak kecil itu. Dia berusaha keras mengintip mereka. Ketika ayahnya membuka bagian belakang radio untuk mengganti batu baterei, barulah dia yakin tak ada yang menghuni kotak tersebut. Namun dia tetap tidak mengerti bagaimana kotak itu bisa menangkap pembicaraan orang di belahan dunia lain, menangkap suara merdu Titik Sandora dan Muchsin Alatas di akhir tahun 60-an, dan musik ngak-ngik-ngok The Beatles dari Liverpool sana. Pada masa itu tak banyak keluarga di kota kecil itu memiliki radio. Keluarga Nadia termasuk beruntung.

Gedung bioskop juga belum ada di sana waktu itu. Namun sesekali penduduknya bisa juga menikmati film. Pater Klisan, seorang pastor misionaris dari Eropa, sering menghibur penduduk kota itu dengan film. Dialah satu-satunya yang memiliki proyektor di kota itu, mungkin juga di kabupaten itu sampai awal tahun 70-an. Bila ingin memutar film, biasanya dipakai sebuah gedung yang sehari-harinya digunakan sebagai gedung sekolah dasar. Sejak zaman Belanda dan Jepang gedung itu memang sudah dipakai untuk sekolah. Bangunan itu pernah pula dimanfaatkan sebagai gedung kesenian, tempat main drama. Kota kecil itu sempat memiliki kelompok teater. Belakangan kegiatannya terbengkalai. Namun panggungnya masih bagus. Rumah Nadia tidak jauh dari situ.

Biasanya, bila ada pemutaran film, Nadia dan teman-temannya telah menyelinap ke gedung sebelum acara pemutaran film dilaksanakan. Bersembunyi di bawah kolong panggung teater. Begitu malam tiba, mereka keluar dari sarang persembunyian, bergabung dengan penonton lain yang masuk ke sana dengan membayar karcis masuk. Layarnya dari kain putih biasa yang dibentangkan begitu saja. Kesannya darurat. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk penonton di kota kecil tersebut waktu itu.

Masuk ke sana bukan masuk ke "gua yang gelap" gedung bioskop modern seperti sekarang. Lampu listrik dari motor disel menyala terang benderang ketika penonton masuk ruang bioskop darurat itu. Listrik untuk masyrakat belum menyala di sana waktu itu. Orang menggunakan lampu gas atau teplok untuk penerangan.

Di gedung bioskop darurat itu, tidak ada nomor kursi. Siapa cepat, dia mendapat tempat duduk. Orang selalu berebut duduk di depan, dekat layar. Pater Klisan biasanya berada di tengah penonton, kira-kira tiga meter jaraknya dari layar. Bila film siap diputar, maka akan terdengar suaranya menggelegar: "Lampu!" Seseorang yang ditugasi mematikan lampu segera melaksanakan tugasnya. Dan, proyektor pun berputar.

Terkadang, saat asyik menonton, tiba-tiba film putus. "Lampu," teriak Pater Klisan. Penonton tak marah bila film tiba-tiba putus. Mereka menikmatinya sebagai bagian dari tontonan. Mereka menunggu dengan sabar sampai film bisa diputar kembali. Semuanya berjalan dengan begitu menyenangkan. Film yang diputar biasanya tentang cowboy atau kisah orang-orang kudus seperti riwayat hidup Maria Goretti yang rela mati demi mempertahankan keperawanannya. Kadang diputar pula film tentang Perang Dunia II.

Masa kanak-kanak yang indah itu sudah berlalu. Kini Nadia tinggal di kota metropolitan dengan tantangan hidup yang lain pula. Dia melihat jarum jam dinding. Pukul empat sore. Dia buru-buru mengemas diri. Sore itu dia harus membawa oleh-oleh dongeng untuk anaknya. Hatinya sudah sampai di rumah saat duduk di belakang setir mobil. Lalu mobilnya bergerak meninggalkan tempat parkir yang lapang dan asri di kampus tempat dia mengajar. Lalu lintas sedang merayap. Dia tahu Anjeli sudah tidak sabar untuk mendengar dongeng Pondik. Dia sendiri juga sudah tidak sabar untuk mendongeng.

Nadia memutar radio kesayangannya untuk menghibur diri di tengah kemacetan lalu lintas. Saat itu Jakarta sedang dilanda demonstrasi mahasiswa. Beberapa ruas jalan di pusat kota ditutup dan mobil-mobil yang sedang merayap pulang harus mencari jalan masing-masing. Dan, kini Nadia ikut merasakan dampaknya. Dia baru tiba di rumah pukul sembilan malam. Di ruang keluarga, dia mendapatkan Anjeli telah bertekuk lutut di depan layar televisi. Meskipun Anjeli telah tertidur, televisi masih terus mendongeng dengan penuh sabar. Kotak ajaib itu sedang menayangkan kerusuhan di suatu tempat. Dengan penuh bangga televisi itu menunjukkan Anjeli gambar-gambar orang mengacung-acungkan golok, parang, dan tombak, siap membunuh sesamanya. Sementara itu, Mbak Sum, pembantu rumah tangga mereka yang bertugas mengasuh Anjeli, menikmati kekerasan di televisi itu sambil menikmati kacang rebus.

Pesawat televisi itu tersenyum bangga ketika mengetahui Nadia muncul. Nadia membalas dengan senyum kecut. Dia melabrak Mbak Sum karena membiarkan anaknya menyaksikan kekerasan dan tragedi itu. Nadia menyadari anaknya tidak mudah mencerna berita itu, sebab Anjeli bukan miniatur dari orang dewasa dalam memandang dunia. Dia langsung merampas anaknya dari pelukan televisi. Anjeli terbangun. Saat membuka matanya, Anjeli mendapatkan ibunya telah pulang.

"Mami, mana dongengnya," Anjeli merengek. Permintaan itu menyejukkan hati Nadia. Dia merasa lega karena anaknya masih menagih janji dongengnya. Lalu dia memeluk anak itu dengan dongengnya. ***

Catatan kaki:

i "Guru Omar Bakri" adalah salah satu judul lagu Iwan Fals.
ii "Malin Kundang" cerita anak durhaka dari Sumatra Barat.

cerita perempuan


Seputar Indonesia
Minggu, 09 Desember 2007

Cerita Perempuan
Cerpen: Yonathan Rahardjo

Mereka duduk berdua di dalam kamar si perempuan. Si lelaki adalah tamu yang diundang menurut janji bersama.Cahaya siang membuat semua kelihatan terang. Sangat jelas kondisi si perempuan, sejelas lelaki yang bertamu dan duduk berhadapan.

SAMBUTAN tuan rumah yang ramah, tampak dari roman wajah perempuan. Bahasa tubuh seadanya dan tidak dibuat-buat membuat si lelaki merasa nyaman berada di dalam kamar kos yang terdiri dari ruang utama dipisahkan dengan dapur dan kamar mandi oleh tembok penyekat.

Hidangan makanan ringan memang membuat si tamu merasa nyaman. Namun, perbincangan mengalir lancar membuat mereka lebih satu hati dan perasaan. Apalagi, mereka punya pengalaman yang sama tentang sebuah kehidupan di sebuah pedesaan lereng gunung tepi hutan.

”Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk kumakan hanya dengan cabe dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan,sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama.

”Aku sangat suka kondisi alami seperti di Lembaga Peduli Lingkungan. Sudah ada tanah di daerah kelahiranku untuk menjadi tempat semacam,”lanjut si perempuan. “Tinggal beli tanah, minta sumbangan- sumbangan lalu mendirikan lembaga peduli lingkungan di situ kan?” “Hihi.. Aku sudah ada tempat di daerah kelahiranku, di tepi pantai.” “Tinggal membuat program kan. Itu sudah tipikal di banyak tempat semacam. Kamu perlu menguraikan dalam tulisan.”

”Soal itu sebetulnya aku sudah banyak ngomong,tapi aku tidak bisa menuliskannya. Aku nggak bisa nulis.” “Caranya gampang, ngomong saja dan rekam di tape.” “Nanti kamu yang menuliskannya.” “Ya tulis sendiri. Kalau nggak gitu ya nyuruh orang nulis.” “Sebetulnya aku juga pernah pinta orang menuliskan ceritaku.” “Cerita apa?” “Tentang aku.” “Kisah nyata?”

”Ya semacam itu.’ “Di mana?” “Tabloid Wanita.” Pembicaraan tentang kenangan di lingkungan lereng gunung tepi hutan berubah menjadi cerita kehidupan pribadi si perempuan. “Berapa panjang?” “Dua halaman.” “Ceritanya bagaimana?” “...” Si perempuan diam, tak menjawab.

”Rahasia?” “Ya... Ya, tentang kisahku yang sayangnya ditulis terlalu vulgar. Laki-laki yang tersangkut dalam cerita itu merasa cerita itu tentang dia juga.Setelah membaca, ia langsung menelepon si wartawan. Ia tanya identitas orang dalam ceritanya, dan diberitahu tokoh utamanya adalah aku. Iapun menghubungi aku.”

”Kok kamu begitu.? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?” “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” “Kisahmu melibatkan orang.. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” “Tidak. Aku menyembunyikan namanya.” “Tapi orang kan bisa menerka.”

”Itu kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku.” “Nah...? “Tertarik, kamu dengan cerita itu?”

”Tertarik.” “Orang belum tahu ceritanya kok sudah tertarik.” “Sampai aku bilang begitu, berarti cerita itu menarik. Apa maksudmu menceritakan kisahmu pada orang biar ditulis di tabloid wanita itu?” “Ada..” “Untuk menyadarkan orang?” “Bukan.” “Agar orang lain tidak mengalami hal yang sama?” “Tidak.” “Agar apa?”

”Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak banyak bicara lagi. Langsung kutunjukkan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku.” “Selain ia yang tersangkut dalam cerita itu, sampai saat ini tidak ada orang lain yang tahu bahwa cerita di media itu adalah tentang aku. Tabloid itu cukup terkenal. Aku berdoa semoga tidak ada orang lain yang tahu.” “Untuk dijadikan buku, cerita itu bagus sekali. Tidak hanya diceritakan tentang percintaannya saja. Tapi juga diwarnai hal-hal lain yang ada dan terjadi pada masa cerita itu terjadi. Sehingga, menjadi karya seperti karangan Novelis Maestro.” “...”

”Cerita yang demikian,banyak miripnya dengan kejadian yang dialami banyak orang lain.” “Betul.” “Aku pernah menonton sinetron,cerita awalnya mirip dengan ceritaku. Tapi kelanjutan dan akhirnya berbeda.” “...”

”Jadi dalam menghadapi masalah yang awalnya sama, ada sikap berbeda dari si pelaku dibanding sikapku.” “...” “Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain.Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam.” “...”

”Dalam kebiasaanku sehari-hari, aku menjadi terbiasa dengan gaya hidup mandiri. Kalau ada genteng bocor dan lain- lain pekerjaan yang dekat dengan lelaki, aku bisa menangani.” “...”

”Namun meski begitu, dulu aku juga wanita yang lemah. Lemah lembut. Kalau pulang ke desa misalnya, tanganku selalu dipegang oleh temanku. Kalau ada apa-apa dengan perilaku dan kesalahanku, aku suka menjawab ya,ya,ya?, cuma menurut dan pasrah terhadap kemarahan dan tuntunan orang tua.” “...”

”Dengan kejadian itu, aku menjadi lebih tegar. Tidak lembek lagi. Kurasakan pengaruh besar akibat tragedi hidupku ditulis wartawan itu..membentuk perubahan sikap padaku.” “...” “Terlalu pendek kok ceritaku itu. Sebetulnya bisa diperpanjang untuk menjadi satu cerita novel. Nanti manggil Novelis kita..” “Novelis besar sekalian saja. Atau bahkan Novelis Maestro.”

”Haha meledek!” “Tidak. Memang cerita semacam itu kadang butuh orang yang tepat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.? ?Kamu kan juga suka menulis...” “Kalau tulisanku, pasti punya gaya tersendiri.” “Soal perselingkuhan juga?” “Ya, bisa.” “Kalau begitu kamu bisa menuliskan tentang perselingkuhanku.” “Cerita apa lagi ini? Lain dari yang tadi?” “...” “Cerita lain lagi?” “...Tulis ya..” “Beres.”

”Ceritanya, temanku banyak yang cowok. Tapi, ada satu cewek yang tipenya mirip dengan aku. Kami pun menjadi sahabat. Hingga, suatu saat ia membuatku merasa berhutang budi padanya. Maka, ketika aku melakukan sesuatu yang terkait dengannya, aku merasa sangat bersalah dan berdosa.” “Apa itu?” “Aku malu menceritakannya padamu.” “Kan kamu minta ditulis...”

Hening sejenak.. ?Suatu saat, di tempat terpencil jauh dari orang, dalam kondisi terdesak aku melakukan....? ?...Apa?? ?....Selingkuh dengan suaminya. ..Dan, aku merasa sangat bersalah karena mengkhianati temanku.? ?...?

”Untungnya sekembalinya di kantor, aku dan suaminya bisa melupakan kejadian itu sama sekali. Aku dan suaminya tak menunjukkan sesuatu yang aneh terhadap teman-temanku, juga kepada temanku itu. Kejadian itu kami simpan dengan rapat.” “...” “Tapi aku tetap merasa bersalah, minta ampun sama Tuhan, bahkan sampai naik Haji segala.” “...”

”Ternyata setelah aku sadari, aku merasa sangat bersalah karena lelaki itu adalah suami orang. Aku kasihan pada istrinya, temanku sendiri. Dan aku sendiri yang rugi, karena setelah itu, lelaki itu pasti lupa padaku. Karena ia sudah punya istri, yang pasti harus lebih diperhatikannya. Aku merasa rugi, karena aku masih bujang. Beda kalau aku melakukannya dengan lelaki yang juga bujang.” Suasana hening. Angin berhembus menerbangkan plastik bekas pembungkus di halaman kompleks kos-kosan. Angin usil mendorong pintu kamar koskosan itu menutup. Cahaya kamar berkurang. Si lelaki mendekat ke arah si perempuan sang tuan rumah.

Makin mendekat. Dipegangnya bahu si perempuan. Ditatapnya tajam mata si perempuan. Sebuah tanya terucap dari bibir mengiringi rasa yang menembus mata dan luruh ke jantung mereka berdua. “Kamu.... suka kehidupan pribadimu ditulis dari kenyataan dan pengalaman.. ya?” “Kamu mau kan menuliskannya?”

”Agar orang tahu kisahmu, lalu lakilaki yang kamu ceritakan bersamamu mencarimu karena malu namanya kamu cemarkan namun tetap juga belas hati padamu, lalu kamu mengalami perubahan sikap dalam hidupmu, seperti ceritamu yang pertama?” “Apa maksudmu?” “Aku mau menuliskan kisah kita.”

”Apa itu?” ... Tanpa ucap, keesokan harinya, beberapa koran memberitakan peristiwa dengan ilustrasi foto cukup besar dan berwarna, dengan judul tulisan besar. Salah satunya: “PENGARANG DAN PEREMPUAN TEWAS BERPELUKAN” **