Entri Populer

Minggu, 22 Mei 2011

Naruni Manusia


Lampung Post
Minggu, 16 September 2007

Nurani Manusia
Cerpen: Iskandar Saputra

GELAP malam memberi cekam di antara deru hujan. Rinainya makin menjadi ketika malam bertambah larut. Suaranya berdetakan di atas atap kardus yang mulai lapuk, menjadi gamelan sunyi di pinggiran kota. Gemuruh halilintar yang enggan berhenti seakan mengisyaratkan gelisah hati Marni. Dalam bilik sempit yang diterangi temaram lampu sentir, ada penantian tanpa kepastian.

Perlahan hawa dingin mulai menyusup. Dinding tripleks bekas yang kusam itu tidak mampu menahan deru angin yang merobek celah-celahnya. Dengan mata yang sayu menahan kantuk, ia pandangi wajah anaknya yang tertidur lelap.

Bocah polos ini adalah teman satu satunya dalam melewati getirnya hidup. Tempat ia mengeluh dan membagi resah. Tapi, dua bulan terakhir bocah malang ini terserang lumpuh layu. Ia hanya bisa terbaring di atas ranjang kusam.

Sudah berkali-kali Marni membawanya ke puskesmas, tapi tidak juga ada perubahan. Dokter menyarankan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Tapi, Marni menolak. Ia tak tega melihat anaknya telantar karena ia tak mampu membayar biaya perawatan. Kondisi ekonomi yang memaksanya untuk pasrah menjalani nasib.

Bocah bertubuh ceking ini tak bisa menuntut apa pun dari orang tuanya. Dengan kerelaan hati ia habiskan hari harinya dengan memandangi bekas rembesan air yang tergambar di atap kardus rumahnya.

Marni tak beranjak dari tempat duduknya. Dingin yang serasa menusuk tulang membuat giginya beradu. Sambil terus menghitung tetes bocoran air hujan, ia selipkan kedua tanganya erat erat ke pangkal ketiak. Ia terus berusaha melawan dingin dan lapar yang mengiris lambungnya. Sepeninggal suaminya, Joko, Marni terbiasa menahan perih lantaran tak ada makanan yang bisa dimakan.

Hidup dengan segala kekurangan sudah menjadi bagian derita Marni. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu. Beruntung, dahulu ada pemulung yang mau mengasuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saat Marni menginjak usia sepuluh tahun, pemulung itu meninggal dunia karena komplikasi penyakit.

Hidup sebatangkara melatihnya untuk mandiri. Awalnya ia meminta-minta di pinggiran jalan untuk menyambung hidup, meskipun makian dan air ludah yang lebih sering ia terima.

Seiring bertambahnya usia, Marni mulai malu meminta belas kasihan orang. Ia bertekad menghidupi diri sendiri dari hasil keringat yang ia cucurkan. Lalu ia pun menjadi pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah. Kesulitan hidup yang terus menimpanya benar-benar membutuhkan kesabaran yang berlapis.

Kondisi sulit ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan Joko. Pemuda gelandangan yang drop out karena tak bisa membayar biaya sekolah. Laki-laki yang kini menjadi suaminya ini sangat bersahaja. Meskipun pernah mengalami gangguan kejiwaan, kini Joko menjadi kumbang yang berhasil meluluhkan hati Marni. Penampilannya yang apa adanya membuat Marni terpesona.

Masih lekat dipelupuk matanya saat ia berebut barang bekas dengan Joko. Tempat pembuangan sampah itu menjadi taman di mana mereka mulai mengukir kasih. Saat itulah Joko menyatakan keinginan menyunting bunga mawar yang tumbuh di antara onggokan sampah. Bunga yang sekian lama menanti belaian kumbang makin merekah. Warna merahnya yang ranum menandakan bahwa ia sudah siap dipetik.

"Tapi aku kan yatim piatu, apa orang tua mas mau menerimaku? Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini, pemulung barang bekas." Marni menundukkan wajah ayunya untuk menguji keseriusan cinta Joko. Walaupun binar matanya tak bisa menutupi kebahagiaan hatinya.

"Aku juga seperti dirimu, gelandangan yang kini menjadi pemulung. Hidupku pun tak jauh beda dengan hidupmu," Joko mencoba meyakinkan.

"Apa Mas mau?" Marni mencari jawab atas keraguan dihatinya.

"Ketulusan, yang akan membuat kita tak pernah lelah untuk saling memahami. Siap menerima apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Getirnya hidupmu akan menjadi bagian deritaku. Aku memang pecundang yang terlindas laju hedonisme metropolitan tanpa gemerlap materi dan kuasa. Tapi saat mengenalmu, aku lebih bahagia dibanding raja dengan istana permata". Getar rasa yang lama terpendam membuat pemuda gelandangan itu menjelma pujangga.

Marni hanya menjatuhkan wajah malu. Hatinya dibasuh embun kebahagiaan. Rasa kagum yang selama ini mengganggu pikirannya kini terkurangi. Ternyata bukan hanya Marni yang memendam rasa, Joko pun sedang menunggu di mana syair-syair cinta dihatinya terkatakan. Joko menjadi labuhan sampan Marni yang lelah mengarungi badai dilautan. Ia juga tempat berkeluh kesah dan teman meraih secercah harapan masa depan.

***

Matahari yang terik siang itu membakar kulit Joko hingga legam. Keringat mengucur dari tubuhnya yang kotor dan berdaki. Sejak pagi buta ia telah mengorek-ngorek tumpukan sampah, mengais barang bekas yang masih bisa dijual ke pengumpul. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar untuk ditukar dengan secanting beras dan sejimpit garam untuk menghilangkan rasa hambar.

Sudah setengah hari ia menelusuri setiap sisi pembuangan sampah, tapi tak banyak yang ia dapat. Hanya beberapa botol plastik bekas minuman. Selebihnya sampah sisa makanan dengan bau menyengat. Mungkin kemarin sore tidak ada mobil yang membuang sampah di sini, pikir Joko membuang penat.

Menjelang sore ia tinggalkan tempat itu. Mukanya yang lelah mulai terlihat murung. Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Seakan ikut membahasakan resah hati Joko. Dengan langkah lesu ia berjalan pulang. Digendongnya keranjang lusuh yang berisi botol plastik. Otaknya berputar putar. Membayang di pelupuk matanya wajah tuan Suryo. Bos pengumpul barang bekas tempat ia menjual hasil pulungannya. Wajah lelaki bermata besar dan berkumis tebal itu begitu akrab di benaknya. Apalagi bulan ini ia nunggak membayar cicilan utangnya, wajah itu makin sangar saat memandangnya masam.

Sebenarnya utang yang pernah ia pinjam tidak terlalu besar, tapi karena ia belum bisa melunasinya kini bunga utang itu menjadi berlipat-lipat. Bahkan, sepuluh kali lipat lebih besar dari utangnya semula.

Di tengah kegelisahan itu, bayangan wajah Budi dan Marni muncul seketika. Budi kini terbaring lemas. Tubuhnya yang kurus semakin ceking lantaran digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Hanya perutnya yang membuncit.

Sebelum berangkat memulung Joko sempat mencium kening Budi. Dibelainya rambut itu penuh kasih sayang.

"Bapak berangkat dahulu ya Nak, doakan hari ini dapat pulungan banyak."

"Inggih Pak, hati-hati. Kalau dapat pulungan banyak jangan lupa belikan Budi telur ayam, hari ini Budi pengin makan pakai telur dadar," Budi meminta dengan suara memelas.

Entah mengapa hari ini Budi ingin makan pakai telur. Padahal tak biasanya ia meminta seperti itu. Ia begitu paham ekonomi orang tuanya. Bapaknya yang hanya seorang pemulung barang bekas tidak bisa menyediakan lauk bergizi setiap hari. Paling paling telur sebulan sekali, itu pun kalau lagi dapat pulungan banyak.

Tak terasa hari beranjak petang. Langkah kakinya terus melaju menuju rumah tuan Suryo. Ia hendak menjual barang bekas hasil pulungannya. Saat melintas di depan toko kelontong, Joko melihat tumpukan kardus bekas di depan toko. Suasana toko saat itu benar-benar sepi. Di jalanan pun tak banyak orang yang berlalu lalang.

Dengan sedikit mengendus-endus Joko mendekati tumpukan kardus. Lembar demi lembar kardus bekas itu ia masukkan keranjang. Sudah belasan kardus yang ia ambil. Rencananya ia menjual kardus itu kepada tuan Suryo untuk menambah beberapa botol plastik bekas hasil pulungannya. Uangnya akan ia gunakan membeli sekilo beras, tiga butir telur ayam, dan sisanya untuk membeli bumbu dapur.

Tapi malang tak dapat ditolak. Keinginan Joko untuk membahagiakan hati istri dan anaknya mendadak buyar. Belum sempat ia meninggalkan tempatnya, pemilik toko telah muncul dari belakang.

"Maling. Maling. Maling."

Pemilik toko berteriak sekuat kuatnya. Joko yang terkejut panik bukan main. Wajahnya pucat bercampur takut dan bingung. Merasa dalam bahaya, ia pun lari sekencang kencangnya. Ia tak lagi memikirkan keranjang miliknya yang berisi botol dan kardus bekas.

Tapi sayang, massa yang mendengar teriakan pemilik toko langsung mengejarnya. Secepat kilat tubuh Joko jadi pelampiasan kekesalan massa. Mereka memukulinya tanpa belas kasihan. Bahkan tak memberinya kesempatan mengelak dan beralasan. Entah sudah berapa banyak pukulan yang mendarat ditubuhnya, ia tak bisa menghitung lagi.

Berkali-kali Joko memohon ampun, tapi massa yang sudah menjadi serigala kelaparan ini terus mencabik-cabik tubuhnya. Joko hanya bisa menangis menahan sakit yang teramat sangat. Darah segar pun mulai mengalir dari hidung dan telinganya.

"Bakar. Bakar. Bakar."

Teriakan massa yang kalut ini membuat detak jantungnya seakan terhenti. Perasaan takut mati menyelinap diantara rintihan lirihnya.

"Ampun, ampunilah saya. Saya mohon!" Joko memohon iba di antara riuh suara massa yang semakin memanas.

"Tenang. Semua tenang. Jangan main hakim sendiri, kita bawa ke kantor polisi saja biar kita tidak kena getahnya."

"Dibakar saja Pak Satpam, biar kapok. Dia kan maling yang udah bikin resah."

Warga yang belum puas melampiaskan amarahnya terus mendesak.

"Tidak. Kalau sampai dia mati, kita juga akan dipenjara. Apa kalian semua siap dipenjara?"

Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah hening. Setelah merenung sesaat, massa setuju untuk membawa Joko ke kantor polisi. Dengan kedua tangan terikat tali, Joko digiring menuju kantor polisi.

Tidak seorang pun menaruh iba padanya. Bahkan, mereka tak pernah bertanya mengapa dan untuk apa Joko mencuri kardus kardus bekas itu. Apakah untuk memperkaya diri? Bermegah-megahan? Bukan, Joko tidak tamak. Ia hanya ingin menukarnya dengan beras dan tiga butir telur ayam, tidak lebih.

Joko menundukkan wajahnya yang berlumuran darah saat melewati rumahnya dengan harapan Marni tak melihat. Tapi, ternyata Marni yang menunggunya sejak sore tak meluputkan pemandangan itu.

"Mas Joko, kamu kenapa Mas? Mas, kamu mau ke mana? Huuk, Huk.., Huk..!" Tangis Marni selaksa hujan yang tercurah dari langit. Ia berusaha memeluk tubuh suaminya yang penuh luka. Tapi massa yang membawa Joko tetap tak menggubris dan terus menahannya. Ratap Marni makin menjadi. Isak tangisnya membuat hati Joko tersayat. Ia hanya tertunduk lesu, membenamkan wajahnya pada kerikil kerikil tajam diatas jalan yang dilaluinya.

***

"Bapak, kapan bapak pulang? Bu, bapak di mana? Kapan bapak pulang?" Suara pelan itu terdengar hampir setiap malam. Dan suara itu pula yang membuat mata Marni selalu basah. Bocah malang yang terbaring didepan Marni itu tak pernah tahu di mana bapaknya kini. Marni selalu menutup-nutupinya karena tak ingin melihat Budi semakin sedih. Setiap Budi bertanya, Marni selalu mengatakan kalau Joko sedang merantau ke kota, mencari uang untuk biaya pengobatan Budi nanti.

Sudah sebulan Joko mendekam di kantor polisi. Di ubin tanpa tikar itu ia habiskan hari harinya yang begitu menyiksa. Entah berapa lama lagi ia akan menunggu sangkar besi ini, ia pun tak pernah tahu.

Polisi penjaga tahanan hanya mengatakan kalau ia nanti akan disidang. Tapi kapan, Polisi tersebut tidak bisa memastikan yang jelas menunggu waktu yang tepat.

Rasa jenuh dan bosan menjadi teman dalam ketidakpastian penantian Joko. Perasaan bersalah telah menelantarkan Marni dan Budi terus menghinggapi pikirannya. Sesal itu makin pahit saat terbayang wajah Budi yang terbaring lemas. Ia tak tahu seperti apa keadaannya, apakah masih bisa makan atau sedang berjuang melawan lapar.

Sepeninggal Joko, Marni kerja serabutan. Untuk menyambung hidup ia sering berbagi sebungkus nasi dengan Budi. Demi sebungkus nasi ini juga, Marni terpaksa meninggalkan Budi sendirian dengan sakit yang semakin kritis. Di siang yang begitu panas, Budi mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.

Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.

Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.

Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan undang-undang dengan uang.

Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan meringankan beban hukumnya.

Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***

Penyesalan Marni


Republika
Minggu, 16 September 2007

Penyesalan Marni
Cerpen: Humam S. Chudori

Sejak di-pehaka, Himawan sering sekali dirawat di rumah sakit. Penyakit asma yang dideritanya sering kambuh. Padahal, sebelum kena pehaka, ia jarang dirawat di rumah sakit kendati tiap bulan mesti mengunjungi dokter. Tragisnya, setelah empat kali dirawat di rumah sakit, Marni mengalami nasib serupa dengan suaminya -- kena pehaka. Sejak itu neraca keuangan keluarga Himawan mulai goncang.

"Jadi orang itu jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari rumah sakit, setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak, baru dua langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah melontarkan kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?" kata Marni lagi.

Himawan tak menyahut. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya. Rasanya ia ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya sendiri masih lemah.

Sebetulnya ia ingin langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar kata-kata istrinya itu tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya seperti berkunang-kunang. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di ruang tamu.

Rumah itu memang sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual. Sebelumnya beberapa perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga sudah mereka jual.

Sejak tak ada meja kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.

Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan. Setelah dua bulan dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan Marni mulai berubah.

Ketika pertama kali berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam -- seperti yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya labil. Itulah sebabnya lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat menikah.

Bukan sekali dua kali Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah nyleneh. Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan serba ingin menang sendiri. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.

Ketika Erna -- adik Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di tengah malam. Widodo pun mengabulkan permintaan Erna. Ia terpaksa mencari makanan yang diminta 'jabang bayi'.

Namun, alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencoba sesendok kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani menolak permintaan 'sang jabang bayi'.

Memang tidak sedikit orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada perubahan perilaku atau kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena perutnya terasa mual.

Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.

Ketika masih bekerja, Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan rumahnya -- kalau dirinya tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah bisa tercukupi.

"Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka belum di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.

"Sama saja, Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian, "Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir tapi sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu bekerja lagi seperti saya."

Apabila Marni sudah mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan maupun Marni -- masih aktif bekerja. Mereka masih punya penghasilan. Namun, setelah di-pehaka Marni tak berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.

Walaupun demikian, toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali Rita.

Sejak di-pehaka, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat. Kedua, pendidikannya pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah lain. Ijazah dari kursus ketrampilan, misalnya.

Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak bioskop yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi. Gulung tikar.

Untungnya, Hendy, ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-anknya, termasuk Himawan. Sebuah rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil kontrakan itulah keluarga Himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meski tidak cukup juga.

"Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang pertanyaan sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata pun.

Himawan masih duduk mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur. "Orang ditanya istri kok diam saja."

"Rumah warisan bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar. Setelah ia berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.

"Sudah gila kamu, Mas?"

"Tadi kamu tanya barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan bapak masih laku dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita. Paling tidak dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah. "Jika nanti kurang ya rumah ini yang kita jual."

Marni diam.

"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya. Suaranya gemetar.

"Mas!"

"Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su... sudah tua...."
Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia terjatuh. Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup rapat. Nafasnya berhenti.

Dengan terbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita, tetangga depan rumahnya. Ada nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa yang telah menyebabkan Himawan menghembuskan napas terakhirnya.

"Andaikata akan begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.

"Ya, sabar saja, Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."

"Masalahnya bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja."

Rita masih diam.

"Untungnya, dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa dua kali lipat lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat. Terlambat berobat, ia harus dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.

"Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak...."

"Maaf," Rita memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya sakit. Ingin buang air."

Dengan tergopoh-gopoh Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni selanjutnya. Kedatangan Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak menghibur sang tetangga yang belum genap seminggu ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar ceritanya Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.

Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi karena almarhum masih meninggalkan utang, pikir Rita.***

Perkawinan Rahasia


Suara Karya
Minggu 27 Januari 2008
Perkawinan Rahasia
Cerpen: Evi Idawati

"Jika sampai ada satu orang yang tahu, kita cerai!" suara Johansyah menggelegar membelah ruangan. Fee, terdiam. Memandang mata suaminya. Hujan baru saja berhenti. Ingin Fee berdiri dan beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Johansyah sendiri. Dia tidak perduli apakah mereka harus bercerai detik itu atau tidak. Fee heran melihat lelaki yang tidak tahu diri itu. Siapa toh perempuan yang mau diperlakukan seperti dia. Perkawinanya dirahasiakan, hanya karena alasan klise. Cinta yang ngawur. Membabi buta. Sehingga Fee menegakan dirinya sendiri terlibat dalam rahasia yang rumit itu.

Johansyah sudah menikah dan keluarganya baik-baik saja. Entah dia yang pecundang, gombal dan buaya. Atau Fee sendiri yang kegatelan sehingga mau saja selingkuh dengan laki-laki yang sudah punya istri dan anak. Entah alasan apa sampai mereka memutuskan untuk menikah tetapi Johansyah membuat persyaratan tidak boleh diketahui siapa pun, kecuali orang-orang yang menjadi saksi pernikahan mereka. O o. dan Fee mau saja dan merasa nyaman dengan itu semua.

Fee, Fee. Laki-laki di dunia ini tidak hanya Johansyah. Cinta tidak harus membuatmu merendahkan diri. Apa yang diberikan Johansyah padamu selama ini sampai kamu mau menjadi istri rahasianya. Rumah? Mobil? Uang? Atau yang lainnya? Apa dia benar-benar mencintaimu? Nonsen! Cinta itu omongkosong. Hati selalu berubah. Sekarang dan besok bisa berbeda. Begitupun hati Johansyah padamu. Sekarang dia bisa bilang mencintaimu sepenuh hati, apa buktinya? Dia hanya ingin bermain dengan kata-kata kosongnya. Dia akan menggunakanmu dengan segala cara untuk kepentingannya. Setelah kamu tidak berguna lagi. Dia akan melemparkanmu. Kamu akan semakin terpuruk dan sakit.

Tidak ada yang melindungimu. karena pernikahanmu tidak jelas. Kamu tidak bisa menuntut dia. Dia dengan gampang akan mengingkari semuanya. Itukah cinta? Lihatlah, apa yang dia lakukan padamu selama ini. Apa yang dia berikan padamu? Atas nama cinta jugakah?Dia ingin kamu mengerti dia. Selalu begitu kan? Tapi dia tidak pernah mengerti kamu. Sudahlah tinggalkan dia. Perempuan seperti dirimu bisa mendapatkan laki-laki mana pun. Jika dia memang tidak tahu diri. Akan terlihat sendiri. Tapi lagi-lagi Fee gemetar saat semuanya hampir berakhir.

"Aku tidak bisa meninggalkan dia. Aku mencintainya" suara Fee begitu lembutnya. Seakan menyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang tidak berdaya.

Aneh! Johansyah bukan laki-laki yang istimewa. Dia pengecut dan suka sekali bersembunyi dalam kata-katanya. Tapi kenapa Fee begitu mencintainya. Sebagai perempuan Fee harus membaca buku tentang laki-laki. Dari Adam sampai Federick. Agar Fee tahu mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan makhluk bernama perempuan. bersyukurlah Fee terlahir sebagai perempuan. Makhluk yang kadang di sikapi tidak adil oleh dunia ini. Tetapi harus tetap tegar dengan seambrek tugas-tugas yang diberikan Tuhan padanya. Dengan sebuah hadiah yang menurut orang-orang sangat istimewa. Surga ditelapak kakinya.

Hati perempuan adalah savanna, samudera dan belantara. Jika dihadapkan pada pilihan hidup yang paling rumit, mereka akan menjelma menjadi angin, air dan udara. Sudah seharusnya Fee tahu itu. Jika dia masih bersikap manja. Tidak berani menerima kesakitan yang biasa bagi sebagian orang itu. Jangan mengaku sebagai perempuan. jadilah orang yang tidak jelas kelaminnya. Meninggalkan pecundang seperti Johansyah saja tidak bisa. Bahkan tidak berani hanya karena takut merasakan luka dan sakit hati.

"Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku mencintainya!" sekali lagi suara Fee yang lirih keluar dari mulutnya. Dia berlagak seperti perempuan yang tidak berdaya.

Bersyukurlah Fee, jika Tuhan masih mengijinkanmu menerima rasa sakit. Kesakitan akan membukakan mata batin kita. Kesakitan adalah pupuk untuk membuat kita terus hidup dan menikmati warna dunia. Kenapa takut berada di tempat seperti itu. Yakinlah, jika Johansyah benar-benar mencintaimu seperti yang sering dikatakannya. Dia akan memberikan tempat terhormat padamu. Seperti dia menghormati dirinya sendiri Dia akan menjaga kehormatanmu. Melebihi kehormatan dirinya sendiri. Dia akan melimpahimu dengan cinta dan kebahagiaan. Dia tidak akan melukaimu. Karena kalau dia melukaimu sama saja dia melukai dirinya sendiri. Bahkan dia akan menyediakan dirinya menjadi dirimu. Memberikan yang terbaik buatmu, seperti kamu memberikan yang terbaik untuknya.

Tapi Fee membutakan matanya. Menulikan telinga dan menutup bibirnya. Bahkan setiap malam tak henti-hentinya dia berdoa untuk kebahagiaan Johansyah. Di jaman seperti ini, perempuan memegang kendali atas mimpi dan keinginan sendiri. Bukan untuk dipermainkan dan direndahkan. Tapi untuk menunjukkan pada dunia, kemampuan, kecerdasan dan kelebihan yang mereka punyai. Melihat Fee, seperti kembali ke seratus tahun silam. Mau-maunya dia berdoa, khusuk untuk kebahagiaan orang yang tidak pernah menghargainya. Atas nama cinta.

Menangislah Fee, menangislah karena kamu tidak bisa bersikap tegar, saat Johansyah memutuskan meninggalkanmu. Mengakhiri semua permainan yang diawali dari kata-kata kosong. Bukan karena kamu takut kehilangan dia. Jangan sekali-kali berani merendahkan diri dan hatimu untuk merengek pada laki-laki itu. Angkat dagumu! Lihatlah kedepan. Laki-laki bukan segala-galanya. Rubahlah tujuan hidupmu, bukan mengabdi pada makluk yang bernama laki-laki. Ada banyak tujuan baik yang perlu kamu camkan dan tancapkan pada bumi. Yang berurusan dengan dirimu dan orang lain. Boleh mencintai asal tidak berlebihan. Silahkan membenci asal jangan keterlaluan. Karena hati selalu berubah. Hati bukan tebing kokoh yang memagari laut dari ombak dan deburnya. Bukan pula batu cadas. Hati begitu lunaknya. Dia bisa disentuh dengan kata-kata yang mendayu tetapi juga bisa disulut hingga terbakar dan berkobar.

"Aku tidak perduli. Kita cerai!" suara Johansyah meninggi.

"Aku salah apa? kenapa?" Fee bertanya dengan suara lemah. Akhirnya hubungan suami istri dalam perkawinan yang dirahasiakan itu harus berakhir juga. Tidak lebih dari enam bulan.

"Aku baru saja menerima telpon dari teman-temanku. Ternyata mereka sudah tahu kalau kita menikah. Kamu pasti yang membocorkan semuanya. Dasar perempuan! kenapa sih tidak bisa menyimpan rahasia. Coba kamu bayangkan, kalau istriku sampai tahu. Apa yang terjadi padaku. Aku akan kehilangan segala-galanya."

"Aku tidak pernah berkata- kata pada teman-temanmu. Apalagi soal kita. Karena aku tahu. Jika mereka tahu soal perkawinanku. Maka selesailah kita. Aku menyadari hal itu. Karena aku sangat mencintaimu. Maka aku menjaga mulutku. Jangan menuduhku dengan berkata seperti itu!"

"Aku tidak percaya padamu! Dari dulupun aku tidak percaya padamu! Kamu selalu berbohong!"

"Aku berbohong soal apa? tentang apa? tolong katakana padaku, hal apa saja yang menurutmu aku berbohong?"

"Tidak perlu diceritakan tapi aku yakin kamu berbohong dan aku tidak percaya lagi padamu!"

"Baiklah, karena kamu sudah tidak percaya lagi padaku. Tidak ada gunanya kita teruskan perkawinan kita. Aku selama ini selalu mengalah padamu. Sebagai istri yang kamu rahasiakan, aku tahu diri dan berusaha belajar untuk tahu diri. Aku tidak pernah bisa bersamamu. Harus menunggu sebulan untuk bertemu. Tidak bisa mengganggumu saat kamu bersama keluargamu. Aku sudah menerima semuanya dan menjalaninya sebagaimana kehidupan normal perempuan-perempuan lain. Entah karena aku mencintaimu atau karena soal lain. Buatku tidak penting. Yang paling utama, meski kita berjauhan dan hanya waktu-waktu tertentu ketemu. Aku menempatkan komitmen kita ditempat yang paling tinggi. Selama aku menjadi istrimu, aku tidak pernah menuntut hal-hal yang tidak bisa kamu berikan. Aku bahkan selalu mensyukurinya. Tapi sekarang terserah padamu. Aku sudah capek. Aku seperti berhadapan dengan anak kecil yang tidak tahu diri. Kembalilah pada istrimu. Aku tidak tahu apa dia memerlukanmu atau tidak. Tapi aku yakin kamu memerlukan dia. Jadi berbaik-baiklah pada istrimu, kamu akan kehilangan asset berharga kalau dia sampai tahu soal kita. Jadilah anak yang baik dihadapannya!"

"Kata-katamu menyakitkan!"

"Apa kamu kira kata-katamu melenakan! Sekarang aku jadi tahu dirimu. Tapi biarlah, aku akan mencatatkannya dalam hatiku. Baik dan burukmu."

Begitulah seharusnya dirimu Fee. Bersikaplah tegas pada laki-laki itu. Kamu tahu kenapa dia begitu ketakutan setelah menikahimu. Kamu harus kasihan padanya. Tidak semua laki-laki ditakdirkan mempunyai sifat pemberani. Mereka juga kadang pengecut. Jika dihadapkan pada dua pilihan. Mereka akan memilih yang paling menguntungkan dia. Jangan berharap atas nama cinta dia akan memilihmu. Hidup baginya adalah angka-angka yang harus dijumlahkan. Jika ada sisa lebih besar, dia pasti akan memilihmu. Kalau tidak ada sisa, bahlan dia merasa kamu telah membuat dia bangkrut, meski kamu punya kelebihanpun tak akan dia menetapkan hati padamu. Jadi jangan menyesal telah meninggalkan dia.

"Tapi rasanya sakit. Aku tidak tahan. Rasanya mau mati saja. Aku kurang apa padanya. Aku memberikan seluruh hati dan diriku padanya. Bahkan jika harus mendada kesakitan pun bersamanya aku mau!"

Jangan mati untuk laki-laki seperti dia Fee. Untuk apa kamu mendada kesakitan bersamanya. Nikmatilah hidup sekarang. Jangan terpaku padanya. Kamu bisa mengerjakan hal-hal yang sudah lama ingin kamu lakukan. Mulailah tentukan tujuan hidupmu. Dia akan menyesal melepaskanmu. Tapi mungkin juga tidak. Dia akan mendapatkan ganti perempuan lain yang bisa dibohongi. Maka belajarlah dengan memberi tanda pada setiap peristiwa. Ambillah maknanya. Jangan menjadi bodoh dengan tidak perduli. Jangan pula mengulang kesalahan yang sama. Lihatlah langit yang benderang, purnama kelima telah datang. kata-kata yang disiapkan untuk menyambutnyapun seperti tanah yang merekah. Siap menerima hujan untuk menyuburkannya. Bisikkan pada pohon-pohon untuk menari bersamamu. Lompatlah ke langit jika bisa membuatmu terbang dan nyaman. Tapi jangan berdoa untuk dia. Karena laki-laki itu, pecundang!.

Entah kenapa, muka Fee masih menyulut kesedihan. Berkali-kali dia mengusap airmatanya. Dan mukena yang dikenakannya setiap malam hanya terlepas setelah fajar.

"Aku mencintainya. Aku akan mengguncangkan langit. Menggedornya setiap malam. Sampai doaku terkabulkan!"

Ah! Ah!

Fee!

Perempuan! ***

* Jogjakarta 2006

Perempuan dan puisi Tuhan

Republika
Minggu, 27 Mei 2007

Perempuan dan Puisi Tuhan
Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak!
Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.

Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami -- aku dan adikku lelaki, Lutfirahman -- ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus es-de.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami: kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar. Hatiku teriris pedih. Beginilah kami: anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan!
Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku. Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam!
Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.

Kukutuki nasib, hendak kurobek dada. Hendak kucabut napas dan jiwa yang menghuni badan ini. Tetapi, tidak! Saat aku dilemparkan ke timbunan sampai saat ini, tiba-tiba kusadari bahwa aku harus hidup! Ya, aku harus hidup. Aku harus bangkit dari malapetaka ini. Harus kukibarkan bendera di tangan dunia, bahwa aku, gadis desa yang berkubang di lumpur hitam, dapat bangkit dan meneriakkan kemenangan!

Mula-mula, hari-hari kulalui tanpa hati. Kulakukan apa yang harus dilakukan tanpa jiwa. Yang kuharapkan, aku suatu ketika bisa keluar dari tempat ini, membawa kemenangan di tangan. Membawa gumpalan kehidupan. Aku berusaha menyimpan uang sedikit demi sedikit.

Tetapi lama-lama aku terjerat dengan segala sistem, dengan segala liku perjalanan hidup bunga raya. Pemerasan demi pemerasan, intrik dan hasutan, membuat apa yang kudapat harus amblas! Begitulah jadinya, aku seakan kembali seperti bayi, seperti baru lahir. Setiap saat harus memulai dari titik nol.

Ya, kulakukan sebisa yang dapat kulakukan. Sampai aku bertemu dengan seorang lelaki. Ah, mulanya aku memang tidak mungkin menaruh harapan dari tempat semacam ini. Tetapi, pada yang satu ini, anehnya aku bisa luluh dan menyerah penuh pasrah.

"Neng...," katanya di dekat telingaku. "Bila usahaku berhasil, aku akan segera membawamu dari tempat ini. Kita akan menikah secara resmi." "Aku senang mendengarnya, Mas Hen. Tetapi bebanku sungguh berat. Adikku harus sekolah. Ibuku harus pula kubiayai."

"Kita biayai bersama. Aku ingin kau ikut ke desaku. Juga adikmu, sekali waktu ia akan sowan ke tempat kita. Ibu juga kalau ia mau, bisa tinggal bersama kita. Kita bangun rumah kecil yang mungil sebagai istana." "Gagasanmu muluk. Kurasa tidak ada kesempatan tanganku untuk menggapainya."

"Engkau jangan pesimis, Dik Ning. Asal ada kemauan pasti ada jalan." "Tetapi mengapa Mas Hen justru memilih aku. Aku kan manusia rusak, kotor. Mas Hen bebas memilih gadis suci, tidak ternoda seperti aku."

"Aku memilihmu, karena aku tahu kau sangat jujur dan setia. Kau terjerumus ke sini bukan karena kehendakmu sendiri. Kau diseret keadaan."

"Aku tahu. Tetapi aku tak mau ada sesal di hari nanti. Biasanya para lelaki akan segera mencaci, jika dari jenis kami ini naik ke tingkat wanita normal. Kami selalu dianggap punya salah yang lebih berat. Dianggap berlumur dosa. Sedang...."

"Stop!" Tangan Mas Hen menutup mulutku. Aku terpana memandang wajahnya. Suaranya mengalun dalam telingaku. "Sedikit demi sedikit aku telah menyiapkan masa depan kita. Aku sudah punya sedikit tabungan di bank. Jika jumlahnya kukirakan cukup sebagai modal, kita menikah, dan segera kita pulang ke desa. Aku ingin jadi petani. Walau tak selesai, aku pernah kuliah di fakultas pertanian."

"Aku ingin dagang," kataku.
"Ya, kau boleh berdagang. Kita dirikan koperasi. Kita berusaha bersama membangun desa."

Begitu muluknya impian itu kurasa. Dan, seperti kelam yang menelan Mas Hen malam itu, rasanya kelam itu pula yang menyungkup aku kini. Betapa tidak, koran yang kubaca jelas menunjukkan kenyataan itu. "Henri -- seorang residivis -- diketahui dari identitas: dan di tempat lain, terbungkus karung, Henri, mahasiswa, gali.... telah menjadi korban penembakan misterius...."
Mataku benar-benar nanar. Lalu gelap. Tiga tahun kutinggalkan, semuanya sudah berubah. Adikku gali. Mas Henri kecintaanku, residivis! Lalu ibu?
Dalam samar, mataku seakan menangkap sosok ayah yang remuk di hantam bus antarkota. Lalu kulihat diriku, kini remuk redam. Aku benar-benar hancur!***

Jakarta, Januari 2007

Lelaki Istimewa

Suara Karya
Sabtu, 18 Agustus 2007

Lelaki Istimewa
Cerpen: Mustafa Ismail

Begitu kulihat nama itu muncul di layar, aku membiarkan saja telepon genggamku berdering sekaligus bergetar di meja kecil samping tempat tidur. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Sepulang nonton bersama malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Semacam perasaan bersalah yang berujung keinginan untuk menghindarinya.

Padahal sebelumnya aku begitu menggebu. Setiap akan bertemu lelaki itu, perasaanku sulit kuungkapkan bahagianya. Aku pikir perasaan semacam itu wajar dimiliki setiap perempuan yang akan bertemu dengan seorang lelaki yang dirasakan cocok dengannya. Ya, cocok dalam soal hobi, dalam pandangan dan pikiran, juga baik. Di mataku, Ndra, begitu aku sering memanggilnya, lelaki yang luar biasa. Lelaki istimewa.

* * *

"Aku enggak ngerti mau bicara apa sih film itu?" Suara Hendra menggerutu begitu film "Tiga Hari untuk Selamanya" selesai diputar. Ia seperti menyesali telah menonton film itu. "Pembuat film itu terlalu berani dalam bereksprimen," katanya lagi. Wajahnya tampak kusut. Aku diam saja di sampingnya.
"Mendingan tadi aku ke acara peluncuran cerpen pilihan Kompas," katanya lagi.

Ya, tadi ia memang sempat ragu: apakah menonton film itu, yang memang sudah lama kami rencanakaan tapi belum kesampaian, atau menghadiri acara peluncuran cerpen di Bentara Budaya. Akhirnya, ia memilih menonton film karena ia ingin membuatku bahagia.

Aku memang bahagia bisa nonton bersamanya. Beberapa kali acara nonton itu tertunda. Pertama, sebabnya tak jelas. Sebelumnya, ia berjanji akan mengajakku nonton, tapi pada hari yang ditentukan, ia tidak menelpon lagi. Aku pun enggan untuk menelpon, takut dikira terlalu bersemangat.

Tapi, beberapa hari lalu, ketika aku iseng menelpon sekaligus memberi tahu nomor baru handphoneku, tanpa sadar aku bertanya mengapa minggu lalu ia tidak jadi mengajakku. "Waduh, sory, aku lupa," katanya di seberang. Ah, itu alasan klise, batinku dalam hati. Tapi aku tidak berusaha untuk mendebatnya.

Dan Kamis lalu, ia pun memenuhi janjinya. Ndra sudah menelpon pagi-pagi dan memastikan bahwa kami jadi nonton. Ia sudah hafal jadwal liburku, yakni hari Kamis, tidak seperti kebanyakan orang bekerja yang libur pada Sabtu-Minggu. Maklum, aku bekerja sebagai karyawan sebuah restoran, yang pada Sabtu-Minggu justru ramai orang. Aku dan teman-teman kerjaku libur bergantian, dan aku kebagian hari Kamis.

Aku berangkat pagi dari Bogor, meskipun kami janjian ketemu jam enam sore. Bukan karena aku terlalu senang, tapi aku ada test di sebuah toko buku. Aku tertarik pindah kerja ke bidang yang lebih akrab denganku, yakni buku.

Dari sana, sudah hampir sore, aku langsung ke Plaza Blok M, tempat janjian kami bertemu. Aku sempat beberapa kali menelpon memastikan apakah dia sudah sampai. Maksudnya, agar aku tidak harus terlalu lama menunggu.

Ya, akhirnya memang dia yang duluan sampai di lobi bioskop, baru aku tiba sekitar lima menit kemudian. Ia datang masih dalam pakaian kerja dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan warna hitam. Wah, orang ini tampak berwibawa sekali, persis seperti kebanyakan orang kantoran.

"Bagaimana tesnya tadi?" ia membuka suara ketika kami telah duduk di ruang tunggu bioskop.
"Aku tak lulus. Tinggiku kurang satu senti dari ketentuan."
"Lho, kok kerja di toko buku mesti ada ketentuan tinggi badan segala? Kayak mau masuk tentara aja....."
"Memang begitu aturannya."

* * *

Dalam perjalanan pulang, kami banyak mengobrol tentang apa saja. Tentang kuliahku yang tidak kuteruskan karena tidak punya cukup biaya, tentang pekerjaan, juga tentang buku-buku baru, tentang film-film bagus, juga tentang kemacetan. Kami bisa bercerita panjang, seperti kemacetan yang mendera kami malam itu di jalan arteri Pondok Indah.

"Di sini paling menjengkelkan," katanya sambil mengendalikan mobilnya di kemacetan itu. "Aku pernah pulang jam sebelas malam, eee... di sini juga masih macet," katanya lagi. Itu karena ada pembangunan jalan bawah tanah, yang belum selesai juga.
"Bapak selalu lewat sini?" kataku.

"Iya, lewat mana lagi. Kantorku dekat sini," katanya. Ia terdiam sejenak. Tapi tiba-tiba ia bersuara. "Sebentar, sejak kita kenal kamu selalu memanggilku Bapak. Apakah aku mirip bapak-bapak?"
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Mataku menatapnya.

"Jika boleh, jangan panggil aku pak, panggil dengan sebutan lain aja. Panggil mas boleh, seperti teman-teman lain," katanya. Teman-teman lain dimaksud adalah teman-temanku, yang kebetulan juga kenal dengan dia.

Oh ya, kujelaskan sedikit, kami bertemu pada sebuah sebuah workshop penulisan skenario. Ndra yang dikenal sebagai penulis skenario sinetron dan film menjadi instrukturnya. Selama sebulan, tiap minggu kami bertemu. Dari sekitar lima belas orang peserta pelatihan itu, hanya aku yang memanggilnya Bapak. Semua teman-teman lain memanggilnya mas atau bang.

"Memanggil mas atau bang lebih akrab lo. Kalau memanggil bapak, seolah-olah ada jarak antara kita, seperti anak dengan bapak atau seperti atasan dengan bawahan. Memangnya aku bapakmu atau aku bosmu, ha....ha....."
Kami tertawa.
"Aku panggil mas aja ya," kataku.

"Setuju. Tapi ingat, kalau salah, aku denda ya. Sekali salah dendanya seribu rupiah. Ntar dendanya dikumpulin...," katanya.
"Oke....Siapa takut."

Mobil terus berjalan, seperti siput yang sebulan tak makan. Malam pun terus beranjak. Dan makin malam, jalanan tampaknya makin ramai. Apalagi ketika mobil kami tiba di depan sebuah pusat perbelanjaan, mobil-mobil seperti tak bergerak. Orang-orang lalu lalang menyeberang jalan. Bus-bus dan angkutan kota yang berhenti di bagian kiri, turut membuat jalan makin berat melangkah.
"Kamu lapar?"

Aku tidak menjawab. Itu pertanyaan bodoh, batinku. Jam telah melewati angka sembilan malam, mestinya pertanyaan itu tidak usah ditanyakan. Memang sih, aku sudah makan bakso jam lima sore tadi, tapi mulutku sudah mulai lapar sejak keluar dari bioskop. Tapi aku berusaha tersenyum.

"Aku juga lapar. Tapi santai dulu, kita kan tadi mau makan makanan Sumatera, nah harus menunggu barang setengah jam lagi," katanya. Makanan Sumatera yang dimaksud adalah Mie Aceh. Aku langsung girang ketika ia mengajakku makan Mie Aceh, yang kutahu dari teman-teman cukup sedap dan bikin ketagihan. Aku ingin sekali mencobanya.
"Tapi kamu tidak anti pedas kan?"
"Aku orang Sumatera lho. Makanan pedas sudah menu sehari-hariku."

* * *

Tapi, setelah malam itu, ada perasaan aneh dalam diriku. Satu sisi, aku tidak ingin menghindarinya, tapi pada sisi lain aku merasa bersalah dekat dengannya. Perasaan bersalah itu makin kental ketika aku terbayang wajah anaknya yang pintar dan lincah. Aku sempat ketemu mereka, Ndra dan Eki, bocah lima tahun itu, di sebuah mall di Bogor. Mereka, makan di restoran tempat aku kerja.

Aku tidak tahu apakah pertemuan itu kebetulan atau bukan. Yang pasti, aku tidak pernah memberi tahu restoran mana aku kerja. Tapi, aku begitu kaget ketika melihat lelaki itu bersama Eki mampir di sana. "Habis dari Puncak. Eki ada shuting di Puncak," katanya ketika kutanya habis jalan-jalan ke mana.

Kemudian lelaki itu menjelaskan bahwa Eki memang suka ikut menjadi figuran di sejumlah sinetron.

Sempat serba salah juga aku waktu itu. Mestinya, aku menjamu mereka. Tapi jelas aku tidak kuat untuk itu. Tahu sendiri harga makanan di tempat kerjaku, nasi goreng saja harganya Rp 25 ribu. Apalagi, Eki mesan segala macam, stik, jus melon dan es krim. Sementara lelaki itu memesan nasi goreng spesial plus telur cepok yang dikasih irisan cabe dan bawang dan minumnya jus mangga.

Aku makin tak enak ketika mereka memanggilku, meminta dibawakan bill, lalu memberi dua lembaran seratus ribu. "Lebihnya disimpan buat kamu aja ya. Aku pamit dulu. Lain kali kita ketemu," katanya. Eki menyalamiku tanpa diminta oleh ayahnya. "Main-main ke sini lagi ya Eki," kataku. Bocah kecil itu tersenyum sambil mengangguk.

Ah, bayangan itu makin membuatku bersalah. Aku takut pertemuan-pertemuanku dengan lelaki itu justru diterjemahkan lain oleh orang-orang yang melihatnya, boleh jadi teman-teman lelaki itu, teman-teman isterinya, atau bahkan isterinya sendiri. Meski kuakui, aku merasa cocok dengan dia, tapi sekali lagi, aku tidak ingin membuat keluarga mereka bermasalah karena aku.

Boleh jadi, memang aku merindukan seorang sosok lelaki dewasa. Lelaki yang bisa mengayomi. Lelaki yang mampu memberi masukan-masukan dan nasihat-nasihat. Lelaki yang romantis. Dan ah, aku menemukan semua yang aku mau pada lelaki itu. Aku memang sudah lama kehilangan sosok ayah, yang kawin lagi ketika aku masih kecil, dan hingga kini aku membencinya. Sayangnya, ibu juga kawin lagi dengan lelaki yang kasar.

Jika boleh, aku ingin sedikit bercerita tentang laki-laki kasar suami baru ibuku. Namanya, Marno. Ia lelaki yang cukup gagah, tinggi besar, mengaku kerja di bank. Tiap hari berangkat ke kantor menggunakan mobil Kijang dan baru pulang pada malam hari. Ia baru pulang ketika larut malam. Nah, selalu saja, ketika pulang, aku dengar ia ribut-ribut dengan ibuku.

Sekali waktu, aku pernah mendengar pertengkaran mereka. "Aku lagi capek Mas, tidak mau," suara ibuku agak tegas tapi dengan nada pelan.
"Kalau kamu nggak mau, aku akan ke kamar anakmu," katanya.

Aku langsung terlonjak begitu mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba, tubuhku jadi berkeringat. Aku langsung teringat yang bukan-bukan, misalnya tentang anak gadis yang diperkosa ayah tiri, dan sebagainya. Tak lama, suara di kamar ibuku yang bersebelahan dengan kamarku senyap. Yang kemudian kudengar adalah suara tangisan ibuku, yang mesti pelan sekali, cukup jelas di telingaku.

Sejak itu, aku makin membenci lelaki itu. Kemudian, aku meminta izin pada ibu untuk tinggal di rumah nenek di Bogor. Sejak itulah, waktu aku kelas II SMP, aku berpisah dengan ibu di Sumatera dan berangkat ke pulau Jawa. Selesai SMA, aku sempat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena aku kasihan sama kakek-nenekku yang kelihatan kesulitan membiayai kuliahku, aku memutuskan berhenti dan bekerja. Tapi, beberapa bulan lalu, lelaki itu hadir dan seperti membawa sosoknya yang kuimpikan.

Aku berusaha tidur, tapi pikiranku tetap melayang-layang. Dan tiba-tiba, sekali lagi, telepon genggamku berbunyi, dan nama lelaki itu tertera di sana. Lagi-lagi, aku ragu untuk mengangkat. Bukan ragu sebetulnya, tapi tidak ingin mengangkat. Beberapa menit setelah dering itu berhenti, telepon genggamku kembali berdering. Aku mengambilnya, menimbang-nimbang, sambil menatap lekat-lekat nama yang muncul di layar ponsel itu.

* * *

Dua bulan kemudian, tanpa sengaja, kami bertemu di toko buku. "Waduh, kamu sulit amat dihubungi. Salah seorang produser tertarik dengan sinopsis ceritamu yang kamu kirim dulu ke aku. Ia minta kamu bertemu dia, tapi aku sulit menghubungimu. Ya sudah, kesempatan itu lepas," katanya enteng.
Mulutku ternganga mendengar kata-katanya.***

@ Depok, 17 Juli 2007