Entri Populer

Senin, 13 Juni 2011

Embun, Cinta, dan Sepasang Sayap Jelita


Media Indonesia
Minggu, 27 Januari 2002

Embun, Cinta, dan Sepasang Sayap Jelita
Cerpen: Teguh Winarsho AS

1.EMBUN pagi masih berkerendahan di kaca jendela, mengeremang seperti pandangan mata manis, saat Elina menggeliat baru bangun tidur. Mata Elina masih kuyu seperti mata kupu-kupu. Tetapi bola mata mungil itu segera mengerjap haru saat menatap embun di jendela kamarnya yang putih seperti guguran salju. Membuat khayal Elina melambung jauh, membayangkan suatu saat nanti bisa pergi ke sebuah tempat yang penuh salju. Mungkin di sebuah bukit yang tinggi atau jurang yang dalam sehingga yang tampak hanya warna kelam kelabu.Tetapi khayalan itu hingga kini belum pernah terwujud. Membuat Elina kerap cemberut bersungut-sungut. "Tuhan tidak adil, sebab tidak mau berbagi!" Seiring Elina mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan bibir pucat membiru.Lain waktu, dengan kemarahan meledak-ledak Elina menghapus embun di jendela kamarnya. Jendela kaca yang semula buram itu menjadi bening, bersih. "Aku tak mau kami tipu! Elina berseru. Napasnya sengal, memburu. Matanya merah menyimpan amarah sekaligus rasa ngilu.EMBUN di jendela kamar Elina sudah lama tidak muncul. Tetapi Elina tidak sedih atau kecewa. Sebab, Elina memang sudah tidak suka melihat embun dan juga tidak ingin pergi ke sebuah tempat bersalju. Elina justru ingin menjadi seekor burung yang bisa terbang ke langit biru. Dari jendela kaca kamarnya yang kini selalu bening, setiap kali bangun tidur Elina suka menatap burung-burung yang berkicau di ranting pohon jambu samping rumah. Burung-burung itu, meski tubuhnya kecil tapi bisa terbang tinggi. Elina juga ingin bisa terbang tinggi seperti burung-burung itu. Karenanya, setiap kali mau berangkat tidur, Elina selalu berdoa agar ketika bangun nanti ia sudah menjadi seekor burung. Tetapi lagi-lagi Elina kecewa sebab setiap kali bangun tidur dirinya masih belum berubah menjadi seekor burung.Elina putus asa. Ia kemudian malas berdoa. Kalaupun sesekali ia masih berdoa itu hanya dilakukan iseng-iseng belaka. Elina tahu, Tuhan pasti tidak akan memperhatikan dia dari mulut iseng. Tetapi pagi ini Elina sangat terkejut. Ketika semalam ia tidak berdoa, bahkan yang iseng sekalipun, pagi ini ia justru mendapati sepasang sayap mungil tumbuh di punggungnya. Sepasang sayap dengan bulu-bulu halus berwarna putih dengan garis-garis biru dan ungu melengkung tipis saling bersinggungan di kedua sisi dalamnya.Apakah aku mimpi? Tanya Elina dalam hati. Takjub. Heran. Di depan cermin Elina terus menggosok-gosok mata, ingin meyakinkan penglihatannya. Tidak salah! Sepasang sayap itu benar-benar tumbuh di punggungnya. Sepasang sayap mungil dengan bulu-bulu putih halus tampak indah memesona. Pelan, gemetar, jari-jari Elina menyentuh kedua ujung sayap itu. Terasa dingin seperti baru dimasukkan dalam kulkas.Tapi, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Keras seperti digedor. Elina kaget, buru-buru mengenakan baju, menyembunyikan sepasang sayap di punggungnya. Elina tahu, hanya Mama di rumah ini yang suka menggedor pintu seperti seorang perampok. Tak sempat naik kursi roda, Elina menggelesot di lantai membuka pintu kamar. Benar. Seraut wajah berminyak dan sepasang bola mata melotot sudah berdiri di depan pintu. Berkacak pinggang. Elina gemetar, merunduk. Tubuhnya seperti mau ambruk."Dasar anak pemalas! Jam segini baru bangun!" Mama menjewer telinga Elina. Selalu begitu setiap Elina bangun kesiangan. Tapi Elina tidak meronta. Sebab Elina tak ingin tangan Mama yang penuh logam kuning bergemerincing itu melayang menggampar mukanya. Elina tetap merunduk, tunduk. Lalu, ketika Mama beringsut masuk kamar, perlahan Elina menggelesot menghampiri kursi roda di samping tempat tidurnya. Elina tahu apa yang harus dilakukannya pagi-pagi begini, yaitu membuat kopi untuk Mama. Mama pasti capek selalu setelah semalaman bekerja dan baru pulang subuh tadi.Tapi, baru beberapa detik, Mama sudah tidak sabar, berteriak serak dalam kamar. "Cepat sedikit, Elina!" Membuat Elina kikuk, tergesa-gesa. Ya, pekerjaannya sering tidak pernah sempurna, justru karena Mama tidak sabar, ingin cepat selesai. Tapi...hmmm, secangkir kopi panas itu telah siap dihidangkan dan aromanya segera meyebar memenuhi seluruh ruangan, menyelusup ke celah-celah lubang masuk ke dalam kamar Mama.PAGI cerah. Mama pergi. Seperti biasa Elina mendorong kursi rodanya ke teras depan, dan dari sela-sela rimbun pohon bunga yang tumbuh di halaman, ia akan melihat teman-teman sebayanya berangkat sekolah. Elina, 14 tahun. Mestinya ia juga sudah sekolah dan bahkan duduk di bangku kelas dua SMP. Tapi Mama selalu meludah setiap kali mengutarakan keinginannya untuk sekolah. Mama bilang, hanya orang-orang bodoh saja yang masih perlu sekolah. Sedang dirinya, kata Mama, bukan orang bodoh, karenanya tak perlu sekolah.Setiap hari Elina dikurung di dalam rumah. Tak boleh keluar untuk alasan apa pun. Tapi pernah suatu kali diam-diam Elina pergi ke rumah Neti, tetangga sebelah, yang mau mengajari membaca, menulis, dan berhitung. Tapi baru delapan kali pertemuan, pada pertemuan terakhir, Mama datang dengan pentungan kayu. "Kamu sudah pintar, Elina! Tak perlu belajar!" Mama mendengus. Sejak itu Elina takut keluar rumah. Paling, pagi-pagi, ia hanya duduk di teras depan melihat teman-teman sebanyanya berangkat sekolah lalu kembali masuk ke dalam rumah.Tapi, sudah beberapa hari ini Elina sering menghabiskan waktunya seharian di teras depan. Bukan untuk melihat teman-teman sebayanya yang mau berangkat sekolah. Bukan. Tapi untuk mencuri pandang seraut wajah laki-laki yang kerap muncul dari pintu rumah seberang jalan; berambut klimis, mengenakan kacamata tipis, tersenyum manis, sesekali melambaikan tangan. Ya, Elina suka menatap laki-laki itu. Membuat jantungnya berdegup keras saat tanpa sengaja bola matanya beradu dengan bola mata milik laki-laki itu. Dan, begitulah, suatu perasaan aneh tiba-tiba menjalar kuat di benak Elina membuat dunia sekelilingnya terasa indah.SEMAKIN hari sepasang sayap di punggung Elina tumbuh semakin panjang dengan bulu-bulu yang kuat dan kukuh. Dulu Elina pernah ingin memotong sepasang sayap itu karena takut ketahuan Mama. Mama pasti akan marah besar jika tahu di punggungnya tumbuh sepasang sayap. Tapi niat itu segera diurungkan karena Elina sadar dirinya akan menjadi jelek tanpa sepasang sayap itu. Memang agak repot, sebab ia harus mengenakan pakaian longgar supaya tidak ketahuan Mama.Ini adalah hari kesepuluh sejak sepasang sayap itu tumbuh di punggung Elina. Elina suka menatap berlama-lama sepasang sayap itu lewat cermin di kamarnya atau ketika sedang mandi. Elina juga mengelus-elusnya. Elina merasa dirinya setiap hari terus bertambah cantik dengan sepasang sayap itu. Membuat perasaannya melambung bahagia. Apalagi, ya, apalagi. Tiga hari lalu, laki-laki berkaca mata tipis seberang jalan secara mengejutkan datang ke rumah ketika Mama sedang pergi ke luar kota.Di mata Elina, laki-laki itu cukup tampan, sopan, dan ramah. Rambutnya disisir rapi ke belakang, jidatnya tampak licin, mengilat. Elina menduga laki-laki itu pasti pintar dan suka membaca buku.Sejak pertemuan itu, laki-laki itu sering datang ke rumah Elina. Laki-laki itu seperti tahu kapan Mama Elina pergi ke luar kota. Kadang laki-laki itu seharian menemani Elina duduk di teras depan; ngobrol, tertawa-tawa. Tapi, lama-lama laki-laki itu bosan duduk di teras depan. Apalagi ketika suatu hari turun hujan lebat disertai angin kencang, laki-laki itu punya alasan untuk masuk ke dalam rumah, nonton televisi di ruang tengah. Tapi acara televisi yang hanya itu-itu saja cepat membuat laki-laki itu jengah. Laki-laki itu kemudian minta izin ingin melihat kamar Elina. Sekadar melihat-lihat saja. Elina tidak keberatan. Ya, tak ada sesuatu yang tak diizinkan Elina untuk laki-laki itu. Tak terkecuali ketika suatu hari laki-laki itu mencium pipi Elina....Dan, begitulah. Waktu terus bergulir. Detak jam terus berputar. Mama lebih sering pergi ke luar kota untuk sebuah urusan yang tak pernah dimengerti Elina. Dan, laki-laki seberang jalan itu juga sering datang ke rumah Elina. Mereka kini lebih suka ngobrol di dalam kamar ketimbang di teras depan atau di ruang tengah. Tapi, kian lama mereka kian kehabisan bahan obrolan. Kata-kata cinta sudah habis diucapkan. Bunga-bunga sudah tumbuh bermekaran. Tak ada yang perlu diragukan. Elina sendiri kemudian lebih banyak diam. Termasuk ketika suatu hari laki-laki itu memeluknya lalu mendorong tubuhnya hingga terjerembap di atas ranjang....Tapi, Mama bukan orang bodoh. Dengan cepat Mama mampu mengendus gelagat Elina. Mama marah besar. Suatu malam Mama mendatangi Elina yang tengah asyik rebahan di atas kasur. "Elina!" suara Mama melengking seperti gelas terbanting. "Sudah kuperingatkan berkali-kali kamu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun juga! Termasuk laki-laki seberang jalan itu! Ngerti?" Malam itu juga Mama mengurung Elina di dalam kamar. Elina sedih. Setiap hari menangis.Kesedihan Elina semakin menjadi-jadi ketika ia ingat laki-laki seberang jalan itu. Elina rindu ingin ketemu laki-laki itu. Elina ingin menatap mata laki-laki itu yang lembut menggetarkan, mampu memberinya ketenteraman. Elina ingin bercanda, tertawa, dan ...ups! Tiba-tiba Elina diingatkan sesuatu tepat saat tangannya meraba perutnya. Perutnya terasa mual mulas dan seperti mau muntah. Kenapa? Ada apa? Mata Elina menerawang menatap langit-langit kamar. Langit-langit kamar yang dulu putih bersih itu kini telah menjadi kusam, retak-retak, seperti suasana hatinya.SEMAKIN hari kerinduan Elina semakin tak tertahankan. Elina tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, menyurukkan kesedihannya di lipatan bantal. Jendela kamarnya terlalu tinggi untuk ukuran dirinya yang cacat, lumpuh. Seandainya kakinya tidak lumpuh tentu ia sudah meloncat jendela menemui laki-laki seberang jalan itu. Ah, betapa kejamnya Mama, hanya jatuh cinta saja dilarang! batin Elina kesal, mengutuki nasibnya yang serbasial. Tapi, benarkah aku jatuh cinta? Elina kadang merasa tidak yakin jika perasaan yang menekan dadanya itu bernama cinta. Cinta? Hmmm. Betapa indahnya kalimat itu, seindah mentari pagi.Meski Elina dikurung di dalam kamar, tapi cintanya terus mekar. Cinta Elina terus mekar seiring sayap di punggungnya yang tumbuh kian kuat, kukuh, dan lebar. Ya, ya, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa melarang seseorang jatuh cinta, meski orang itu adalah ibu kandung sendiri. Demikian Elina. Maka, pada suatu hari yang bahagia, ketika Mama sedang pergi ke luar kota, sepasang sayap di punggung Elina tiba-tiba mengepak pelan hingga angin berdesir memenuhi kamar. Lalu, mengepak lebih kencang lagi hingga tubuh Elina perlahan-lahan terangkat ke atas. Ke atas. Elina bisa terbang!Elina tertawa bahagia. Meski kakinya lumpuh, dirinya bisa terbang. Tuhan telah memahkotai dirinya dengan sepasang sayap jelita sebagai ganti kedua kakinya yang lumpuh! Sejenak Elina berputar-putar mengitari kamar lalu melesat keluar lewat jendela, mengitari halaman mencumbui bunga-bunga. Saking bahagianya hingga Elina lupa dengan laki-laki seberang jalan itu. Tapi, begitu ingat, Elina langsung melesat menuju rumah seberang jalan ingin menemui laki-laki itu. Tetapi Elina terkejut saat mendapati laki-laki itu tengah bercinta dengan seorang gadis sebaya dirinya di bangku bawah pohon belakang rumah....

Dongeng untuk Anjeli


Suara Pembaruan
Minggu, 01 Juli 2007

Dongeng untuk Anjeli
Cerpen: Willy Hangguman

Telepon di atas meja kerja Nadia berdering. "Mami, jangan lupa dongengnya?" terdengar suara mungil se- orang anak perempuan.

"Tentu, Anjeli. Mami mempunyai dongeng yang istimewa," Nadia berjanji kepada putri sulungnya, Anjeli. Hari itu Anjeli genap enam tahun dan dia minta kado didongengi.

"Dongeng tentang apa, Mami?"

"Pondik."

"Apa itu?"

"Dongeng dari Manggarai, Flores, dari kampung Opa Yulman."

"Pondik itu, siapa?"

"Seorang laki-laki Manggarai yang dianggap bodoh, namun sebenarnya cerdas."

"Cepat pulang, ya, Mami! Anjeli sudah tak sabar ingin dengar ceritanya."

Hati Nadia pengap oleh rasa bahagia. Anjeli ternyata rindu pada dongengnya. Selama ini dia selalu merasa cemburu pada pesawat televisi yang ada di ruang keluarga. Anjeli suka cuek pada dirinya saat duduk di depan pesawat televisi. Malah dia lebih mentaati acara televisi daripada perintah orangtuanya. Televisi telah menjadi idolanya yang dengan sabar mendongeng untuknya. Televisi tak pernah mengeluh capek saat mendongeng. Tidak seperti ibunya yang suka mengeluh capek pulang kerja. Begitu juga bapaknya. Nadia merasa diejek televisi karena berhasil merebut Anjeli.

Nadia makin terkejut karena anaknya makin dikuasai oleh televisi. Ceritanya, suatu hari, seusai pulang taman kanak-kanak Anjeli menunjukkan gambar-gambar yang dibuatnya di sekolah dengan penuh semangat kepadanya.

"Mami, lihat ini," katanya sambil menunjukkan tiga lembar kertas gambar yang sangat ramai dengan pesta warna. Nadia memperhatikan gambar-gambar itu.

"Oi, anak mama ternyata sudah pandai menggambar," Nadia memuji.

"Bagus nggak, Ma?"

"Bagus sekali," dia memuji lalu menarik anak perempuan itu, memeluknya erat-erat, mencium kedua pipinya.

Setelah anaknya pergi bermain, Nadia memperhatikan kembali gambar-gambar yang dibuat oleh anaknya. Dia tersentak, televisi telah berhasil mengajarinya dengan gambar-gambar dari negeri asing, dari negeri televisi, dari negeri maya. Ada Doraemon, Satria Baja Hitam, Hercules dan Xena. Dia tidak menggambar ayam, bebek, kucing, dan burung. Dia tidak melukis Gatotkaca dan Anoman. Rasa cemburu dan geram mengguncang-guncangkan hati Nadia karena televisi telah berhasil merebut anaknya. Ingin dia mencampakkan pesawat televisi dari rumahnya. Namun itu tidak mungkin. Orang kota seperti dirinya membutuhkan televisi, sama seperti membutuhkan nasi dan sayur. Televisi telah menjadi bagian dari hidupnya, identitas dirinya.

Televisi telah berhasil menggusur dirinya dalam merebut hati Anjeli. Televisi memang penuh pesona. Dia menyadari televisi selalu lebih sabar dan ramah kepada Anjeli dibandingkan dengan dirinya. Televisi tak pernah marah, bila Anjeli tidak mengganti seragamnya setelah pulang sekolah. Dengan tangan terbuka dia mengatakan, "Datanglah kepadaku, dengarlah dongeng-dongengku sepuas-puasnya, Anjeli. Saya tidak peduli engkau belum mandi. Kalau engkau mendengarku sampai lupa makan, sampai lupa belajar, sampai lupa pekerjaan rumah yang ditugaskan Guru Omar Bakrii, sampai lupa ibu dan bapakmu juga, saya tidak marah. Saya siap menjadi orangtuamu.

"Ibumu, ayahmu telah membawa saya tinggal di rumah ini dan mendapat ruang penting dalam rumah, ruang keluarga. Saya merasa sangat terhormat, bisa menjadi bagian penting dari keluargamu. Saya hanya bisa berterima kasih dengan menawarkan mimpi-mimpi kepadamu. Nontonlah sekuat-kuatnya dan sepuas-puasnya. Dengarlah sekuat-kuatnya. Saya tidak mengenal lelah. Saya juga siap dibangunkan kapan saja untuk mendongeng. Kamu terlalu baik pada saya, Anjeli." Nadia sakit hati mendengar televisi mengejeknya.

Nadia pernah mencoba merebut anaknya dari pelukan televisi dengan dongeng Malin Kundangii, suatu kisah anak durhaka. Malin Kundang yang sudah sukses, tidak mau mengakui ibu kandungnya di depan istrinya yang cantik karena ibunya hanyalah seorang perempuan desa biasa. Anjeli tertarik. Nadia merasa bahagia.

"Anjeli sayang sama Mama, nggak?" tanya Nadia setelah mengakhiri dongennya.

"Sayang. Anjeli nggak mau jadi anak durhaka, Ma," jawab Anjeli. Matanya berkaca-kaca. Dulu, Malin Kundang juga membuat air mata Nadia berlinang karena terharu ketika ibunya mendongenginya. Bila ada paman atau bibinya yang datang ke rumahnya, Nadia selalu merengek minta didongengi. Bahagia rasanya bila omanya datang. Omanya pandai mendongeng. Dongengnya macam-macam. Nadia biasanya minta untuk tidur bersama omanya agar bisa menikmati dongeng yang lezat.

Sekarang, dia ingin mewariskan pengalaman masa kecilnya untuk putrinya sendiri, Anjeli. Dia tahu dongeng itu banyak manfaatnya bagi Anjeli. Dongeng menyiapkan ruang imajinasi untuk petualangan anaknya. Di ruang imajinasi itulah anaknya bisa bermain, mengembangkan pikirannya.

Televisi telah menyandera anak-anak kota besar, termasuk Anjeli, untuk tidak mau bermain, kecuali duduk takluk di depannya. Nadia sempat menolak rencana suaminya untuk membeli home theater yang mampu memanjakan mata dan telinga dengan gambar-gambar dan bunyi yang terasa live, di mana penontonnya merasa ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang ditayangkan di layar televisi. Dia menyadari, kenikmatan menonton akan membuat Anjeli makin betah mendengar dongeng dari televisi dan malas bermain. Kelak dia juga akan malas membaca. Televisi akan menjadi idola Anjeli. Nadia merasa sangat khawatir.

"Televisi tidak boleh menguasai anakku. Aku akan merebut dari pelukannya," geram hati Nadia. Dia mencemaskan anaknya menjadi manusia square eyes, menjadi manusia malang seperti Chips Gordon yang diperankan Jim Carrey dalam film The Cable Guy.

Nadia menyadari tidak mudah menjadi orangtua di zaman televisi. Pada masa kecilnya di Ruteng, tak ada televisi. Jangankan pesawatnya, kata televisi belum sampai ke sana. Ketika ayah Nadia membeli sebuah radio, rasanya bahagia luar biasa. Benda berbentuk seperti kotak itu mampu menangkap suara dari RRI Jakarta dan RRI Makassar, bahkan suara dari benua lain seperti BBC London, Hilversum Belanda, Deutche Welle Jerman, dan Radio Australia dari Melbourne, Australia. Benda itu membuat Nadia terkagum-kagum pada radio.

Pernah dia berpikir, mereka yang berbicara dan menyanyi di radio tentu tinggal di dalam kotak kecil itu. Dia berusaha keras mengintip mereka. Ketika ayahnya membuka bagian belakang radio untuk mengganti batu baterei, barulah dia yakin tak ada yang menghuni kotak tersebut. Namun dia tetap tidak mengerti bagaimana kotak itu bisa menangkap pembicaraan orang di belahan dunia lain, menangkap suara merdu Titik Sandora dan Muchsin Alatas di akhir tahun 60-an, dan musik ngak-ngik-ngok The Beatles dari Liverpool sana. Pada masa itu tak banyak keluarga di kota kecil itu memiliki radio. Keluarga Nadia termasuk beruntung.

Gedung bioskop juga belum ada di sana waktu itu. Namun sesekali penduduknya bisa juga menikmati film. Pater Klisan, seorang pastor misionaris dari Eropa, sering menghibur penduduk kota itu dengan film. Dialah satu-satunya yang memiliki proyektor di kota itu, mungkin juga di kabupaten itu sampai awal tahun 70-an. Bila ingin memutar film, biasanya dipakai sebuah gedung yang sehari-harinya digunakan sebagai gedung sekolah dasar. Sejak zaman Belanda dan Jepang gedung itu memang sudah dipakai untuk sekolah. Bangunan itu pernah pula dimanfaatkan sebagai gedung kesenian, tempat main drama. Kota kecil itu sempat memiliki kelompok teater. Belakangan kegiatannya terbengkalai. Namun panggungnya masih bagus. Rumah Nadia tidak jauh dari situ.

Biasanya, bila ada pemutaran film, Nadia dan teman-temannya telah menyelinap ke gedung sebelum acara pemutaran film dilaksanakan. Bersembunyi di bawah kolong panggung teater. Begitu malam tiba, mereka keluar dari sarang persembunyian, bergabung dengan penonton lain yang masuk ke sana dengan membayar karcis masuk. Layarnya dari kain putih biasa yang dibentangkan begitu saja. Kesannya darurat. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk penonton di kota kecil tersebut waktu itu.

Masuk ke sana bukan masuk ke "gua yang gelap" gedung bioskop modern seperti sekarang. Lampu listrik dari motor disel menyala terang benderang ketika penonton masuk ruang bioskop darurat itu. Listrik untuk masyrakat belum menyala di sana waktu itu. Orang menggunakan lampu gas atau teplok untuk penerangan.

Di gedung bioskop darurat itu, tidak ada nomor kursi. Siapa cepat, dia mendapat tempat duduk. Orang selalu berebut duduk di depan, dekat layar. Pater Klisan biasanya berada di tengah penonton, kira-kira tiga meter jaraknya dari layar. Bila film siap diputar, maka akan terdengar suaranya menggelegar: "Lampu!" Seseorang yang ditugasi mematikan lampu segera melaksanakan tugasnya. Dan, proyektor pun berputar.

Terkadang, saat asyik menonton, tiba-tiba film putus. "Lampu," teriak Pater Klisan. Penonton tak marah bila film tiba-tiba putus. Mereka menikmatinya sebagai bagian dari tontonan. Mereka menunggu dengan sabar sampai film bisa diputar kembali. Semuanya berjalan dengan begitu menyenangkan. Film yang diputar biasanya tentang cowboy atau kisah orang-orang kudus seperti riwayat hidup Maria Goretti yang rela mati demi mempertahankan keperawanannya. Kadang diputar pula film tentang Perang Dunia II.

Masa kanak-kanak yang indah itu sudah berlalu. Kini Nadia tinggal di kota metropolitan dengan tantangan hidup yang lain pula. Dia melihat jarum jam dinding. Pukul empat sore. Dia buru-buru mengemas diri. Sore itu dia harus membawa oleh-oleh dongeng untuk anaknya. Hatinya sudah sampai di rumah saat duduk di belakang setir mobil. Lalu mobilnya bergerak meninggalkan tempat parkir yang lapang dan asri di kampus tempat dia mengajar. Lalu lintas sedang merayap. Dia tahu Anjeli sudah tidak sabar untuk mendengar dongeng Pondik. Dia sendiri juga sudah tidak sabar untuk mendongeng.

Nadia memutar radio kesayangannya untuk menghibur diri di tengah kemacetan lalu lintas. Saat itu Jakarta sedang dilanda demonstrasi mahasiswa. Beberapa ruas jalan di pusat kota ditutup dan mobil-mobil yang sedang merayap pulang harus mencari jalan masing-masing. Dan, kini Nadia ikut merasakan dampaknya. Dia baru tiba di rumah pukul sembilan malam. Di ruang keluarga, dia mendapatkan Anjeli telah bertekuk lutut di depan layar televisi. Meskipun Anjeli telah tertidur, televisi masih terus mendongeng dengan penuh sabar. Kotak ajaib itu sedang menayangkan kerusuhan di suatu tempat. Dengan penuh bangga televisi itu menunjukkan Anjeli gambar-gambar orang mengacung-acungkan golok, parang, dan tombak, siap membunuh sesamanya. Sementara itu, Mbak Sum, pembantu rumah tangga mereka yang bertugas mengasuh Anjeli, menikmati kekerasan di televisi itu sambil menikmati kacang rebus.

Pesawat televisi itu tersenyum bangga ketika mengetahui Nadia muncul. Nadia membalas dengan senyum kecut. Dia melabrak Mbak Sum karena membiarkan anaknya menyaksikan kekerasan dan tragedi itu. Nadia menyadari anaknya tidak mudah mencerna berita itu, sebab Anjeli bukan miniatur dari orang dewasa dalam memandang dunia. Dia langsung merampas anaknya dari pelukan televisi. Anjeli terbangun. Saat membuka matanya, Anjeli mendapatkan ibunya telah pulang.

"Mami, mana dongengnya," Anjeli merengek. Permintaan itu menyejukkan hati Nadia. Dia merasa lega karena anaknya masih menagih janji dongengnya. Lalu dia memeluk anak itu dengan dongengnya. ***

Catatan kaki:

i "Guru Omar Bakri" adalah salah satu judul lagu Iwan Fals.
ii "Malin Kundang" cerita anak durhaka dari Sumatra Barat.

cerita perempuan


Seputar Indonesia
Minggu, 09 Desember 2007

Cerita Perempuan
Cerpen: Yonathan Rahardjo

Mereka duduk berdua di dalam kamar si perempuan. Si lelaki adalah tamu yang diundang menurut janji bersama.Cahaya siang membuat semua kelihatan terang. Sangat jelas kondisi si perempuan, sejelas lelaki yang bertamu dan duduk berhadapan.

SAMBUTAN tuan rumah yang ramah, tampak dari roman wajah perempuan. Bahasa tubuh seadanya dan tidak dibuat-buat membuat si lelaki merasa nyaman berada di dalam kamar kos yang terdiri dari ruang utama dipisahkan dengan dapur dan kamar mandi oleh tembok penyekat.

Hidangan makanan ringan memang membuat si tamu merasa nyaman. Namun, perbincangan mengalir lancar membuat mereka lebih satu hati dan perasaan. Apalagi, mereka punya pengalaman yang sama tentang sebuah kehidupan di sebuah pedesaan lereng gunung tepi hutan.

”Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk kumakan hanya dengan cabe dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan,sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama.

”Aku sangat suka kondisi alami seperti di Lembaga Peduli Lingkungan. Sudah ada tanah di daerah kelahiranku untuk menjadi tempat semacam,”lanjut si perempuan. “Tinggal beli tanah, minta sumbangan- sumbangan lalu mendirikan lembaga peduli lingkungan di situ kan?” “Hihi.. Aku sudah ada tempat di daerah kelahiranku, di tepi pantai.” “Tinggal membuat program kan. Itu sudah tipikal di banyak tempat semacam. Kamu perlu menguraikan dalam tulisan.”

”Soal itu sebetulnya aku sudah banyak ngomong,tapi aku tidak bisa menuliskannya. Aku nggak bisa nulis.” “Caranya gampang, ngomong saja dan rekam di tape.” “Nanti kamu yang menuliskannya.” “Ya tulis sendiri. Kalau nggak gitu ya nyuruh orang nulis.” “Sebetulnya aku juga pernah pinta orang menuliskan ceritaku.” “Cerita apa?” “Tentang aku.” “Kisah nyata?”

”Ya semacam itu.’ “Di mana?” “Tabloid Wanita.” Pembicaraan tentang kenangan di lingkungan lereng gunung tepi hutan berubah menjadi cerita kehidupan pribadi si perempuan. “Berapa panjang?” “Dua halaman.” “Ceritanya bagaimana?” “...” Si perempuan diam, tak menjawab.

”Rahasia?” “Ya... Ya, tentang kisahku yang sayangnya ditulis terlalu vulgar. Laki-laki yang tersangkut dalam cerita itu merasa cerita itu tentang dia juga.Setelah membaca, ia langsung menelepon si wartawan. Ia tanya identitas orang dalam ceritanya, dan diberitahu tokoh utamanya adalah aku. Iapun menghubungi aku.”

”Kok kamu begitu.? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?” “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” “Kisahmu melibatkan orang.. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” “Tidak. Aku menyembunyikan namanya.” “Tapi orang kan bisa menerka.”

”Itu kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku.” “Nah...? “Tertarik, kamu dengan cerita itu?”

”Tertarik.” “Orang belum tahu ceritanya kok sudah tertarik.” “Sampai aku bilang begitu, berarti cerita itu menarik. Apa maksudmu menceritakan kisahmu pada orang biar ditulis di tabloid wanita itu?” “Ada..” “Untuk menyadarkan orang?” “Bukan.” “Agar orang lain tidak mengalami hal yang sama?” “Tidak.” “Agar apa?”

”Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak banyak bicara lagi. Langsung kutunjukkan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku.” “Selain ia yang tersangkut dalam cerita itu, sampai saat ini tidak ada orang lain yang tahu bahwa cerita di media itu adalah tentang aku. Tabloid itu cukup terkenal. Aku berdoa semoga tidak ada orang lain yang tahu.” “Untuk dijadikan buku, cerita itu bagus sekali. Tidak hanya diceritakan tentang percintaannya saja. Tapi juga diwarnai hal-hal lain yang ada dan terjadi pada masa cerita itu terjadi. Sehingga, menjadi karya seperti karangan Novelis Maestro.” “...”

”Cerita yang demikian,banyak miripnya dengan kejadian yang dialami banyak orang lain.” “Betul.” “Aku pernah menonton sinetron,cerita awalnya mirip dengan ceritaku. Tapi kelanjutan dan akhirnya berbeda.” “...”

”Jadi dalam menghadapi masalah yang awalnya sama, ada sikap berbeda dari si pelaku dibanding sikapku.” “...” “Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain.Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam.” “...”

”Dalam kebiasaanku sehari-hari, aku menjadi terbiasa dengan gaya hidup mandiri. Kalau ada genteng bocor dan lain- lain pekerjaan yang dekat dengan lelaki, aku bisa menangani.” “...”

”Namun meski begitu, dulu aku juga wanita yang lemah. Lemah lembut. Kalau pulang ke desa misalnya, tanganku selalu dipegang oleh temanku. Kalau ada apa-apa dengan perilaku dan kesalahanku, aku suka menjawab ya,ya,ya?, cuma menurut dan pasrah terhadap kemarahan dan tuntunan orang tua.” “...”

”Dengan kejadian itu, aku menjadi lebih tegar. Tidak lembek lagi. Kurasakan pengaruh besar akibat tragedi hidupku ditulis wartawan itu..membentuk perubahan sikap padaku.” “...” “Terlalu pendek kok ceritaku itu. Sebetulnya bisa diperpanjang untuk menjadi satu cerita novel. Nanti manggil Novelis kita..” “Novelis besar sekalian saja. Atau bahkan Novelis Maestro.”

”Haha meledek!” “Tidak. Memang cerita semacam itu kadang butuh orang yang tepat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.? ?Kamu kan juga suka menulis...” “Kalau tulisanku, pasti punya gaya tersendiri.” “Soal perselingkuhan juga?” “Ya, bisa.” “Kalau begitu kamu bisa menuliskan tentang perselingkuhanku.” “Cerita apa lagi ini? Lain dari yang tadi?” “...” “Cerita lain lagi?” “...Tulis ya..” “Beres.”

”Ceritanya, temanku banyak yang cowok. Tapi, ada satu cewek yang tipenya mirip dengan aku. Kami pun menjadi sahabat. Hingga, suatu saat ia membuatku merasa berhutang budi padanya. Maka, ketika aku melakukan sesuatu yang terkait dengannya, aku merasa sangat bersalah dan berdosa.” “Apa itu?” “Aku malu menceritakannya padamu.” “Kan kamu minta ditulis...”

Hening sejenak.. ?Suatu saat, di tempat terpencil jauh dari orang, dalam kondisi terdesak aku melakukan....? ?...Apa?? ?....Selingkuh dengan suaminya. ..Dan, aku merasa sangat bersalah karena mengkhianati temanku.? ?...?

”Untungnya sekembalinya di kantor, aku dan suaminya bisa melupakan kejadian itu sama sekali. Aku dan suaminya tak menunjukkan sesuatu yang aneh terhadap teman-temanku, juga kepada temanku itu. Kejadian itu kami simpan dengan rapat.” “...” “Tapi aku tetap merasa bersalah, minta ampun sama Tuhan, bahkan sampai naik Haji segala.” “...”

”Ternyata setelah aku sadari, aku merasa sangat bersalah karena lelaki itu adalah suami orang. Aku kasihan pada istrinya, temanku sendiri. Dan aku sendiri yang rugi, karena setelah itu, lelaki itu pasti lupa padaku. Karena ia sudah punya istri, yang pasti harus lebih diperhatikannya. Aku merasa rugi, karena aku masih bujang. Beda kalau aku melakukannya dengan lelaki yang juga bujang.” Suasana hening. Angin berhembus menerbangkan plastik bekas pembungkus di halaman kompleks kos-kosan. Angin usil mendorong pintu kamar koskosan itu menutup. Cahaya kamar berkurang. Si lelaki mendekat ke arah si perempuan sang tuan rumah.

Makin mendekat. Dipegangnya bahu si perempuan. Ditatapnya tajam mata si perempuan. Sebuah tanya terucap dari bibir mengiringi rasa yang menembus mata dan luruh ke jantung mereka berdua. “Kamu.... suka kehidupan pribadimu ditulis dari kenyataan dan pengalaman.. ya?” “Kamu mau kan menuliskannya?”

”Agar orang tahu kisahmu, lalu lakilaki yang kamu ceritakan bersamamu mencarimu karena malu namanya kamu cemarkan namun tetap juga belas hati padamu, lalu kamu mengalami perubahan sikap dalam hidupmu, seperti ceritamu yang pertama?” “Apa maksudmu?” “Aku mau menuliskan kisah kita.”

”Apa itu?” ... Tanpa ucap, keesokan harinya, beberapa koran memberitakan peristiwa dengan ilustrasi foto cukup besar dan berwarna, dengan judul tulisan besar. Salah satunya: “PENGARANG DAN PEREMPUAN TEWAS BERPELUKAN” **

Minggu, 22 Mei 2011

Naruni Manusia


Lampung Post
Minggu, 16 September 2007

Nurani Manusia
Cerpen: Iskandar Saputra

GELAP malam memberi cekam di antara deru hujan. Rinainya makin menjadi ketika malam bertambah larut. Suaranya berdetakan di atas atap kardus yang mulai lapuk, menjadi gamelan sunyi di pinggiran kota. Gemuruh halilintar yang enggan berhenti seakan mengisyaratkan gelisah hati Marni. Dalam bilik sempit yang diterangi temaram lampu sentir, ada penantian tanpa kepastian.

Perlahan hawa dingin mulai menyusup. Dinding tripleks bekas yang kusam itu tidak mampu menahan deru angin yang merobek celah-celahnya. Dengan mata yang sayu menahan kantuk, ia pandangi wajah anaknya yang tertidur lelap.

Bocah polos ini adalah teman satu satunya dalam melewati getirnya hidup. Tempat ia mengeluh dan membagi resah. Tapi, dua bulan terakhir bocah malang ini terserang lumpuh layu. Ia hanya bisa terbaring di atas ranjang kusam.

Sudah berkali-kali Marni membawanya ke puskesmas, tapi tidak juga ada perubahan. Dokter menyarankan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Tapi, Marni menolak. Ia tak tega melihat anaknya telantar karena ia tak mampu membayar biaya perawatan. Kondisi ekonomi yang memaksanya untuk pasrah menjalani nasib.

Bocah bertubuh ceking ini tak bisa menuntut apa pun dari orang tuanya. Dengan kerelaan hati ia habiskan hari harinya dengan memandangi bekas rembesan air yang tergambar di atap kardus rumahnya.

Marni tak beranjak dari tempat duduknya. Dingin yang serasa menusuk tulang membuat giginya beradu. Sambil terus menghitung tetes bocoran air hujan, ia selipkan kedua tanganya erat erat ke pangkal ketiak. Ia terus berusaha melawan dingin dan lapar yang mengiris lambungnya. Sepeninggal suaminya, Joko, Marni terbiasa menahan perih lantaran tak ada makanan yang bisa dimakan.

Hidup dengan segala kekurangan sudah menjadi bagian derita Marni. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu. Beruntung, dahulu ada pemulung yang mau mengasuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saat Marni menginjak usia sepuluh tahun, pemulung itu meninggal dunia karena komplikasi penyakit.

Hidup sebatangkara melatihnya untuk mandiri. Awalnya ia meminta-minta di pinggiran jalan untuk menyambung hidup, meskipun makian dan air ludah yang lebih sering ia terima.

Seiring bertambahnya usia, Marni mulai malu meminta belas kasihan orang. Ia bertekad menghidupi diri sendiri dari hasil keringat yang ia cucurkan. Lalu ia pun menjadi pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah. Kesulitan hidup yang terus menimpanya benar-benar membutuhkan kesabaran yang berlapis.

Kondisi sulit ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan Joko. Pemuda gelandangan yang drop out karena tak bisa membayar biaya sekolah. Laki-laki yang kini menjadi suaminya ini sangat bersahaja. Meskipun pernah mengalami gangguan kejiwaan, kini Joko menjadi kumbang yang berhasil meluluhkan hati Marni. Penampilannya yang apa adanya membuat Marni terpesona.

Masih lekat dipelupuk matanya saat ia berebut barang bekas dengan Joko. Tempat pembuangan sampah itu menjadi taman di mana mereka mulai mengukir kasih. Saat itulah Joko menyatakan keinginan menyunting bunga mawar yang tumbuh di antara onggokan sampah. Bunga yang sekian lama menanti belaian kumbang makin merekah. Warna merahnya yang ranum menandakan bahwa ia sudah siap dipetik.

"Tapi aku kan yatim piatu, apa orang tua mas mau menerimaku? Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini, pemulung barang bekas." Marni menundukkan wajah ayunya untuk menguji keseriusan cinta Joko. Walaupun binar matanya tak bisa menutupi kebahagiaan hatinya.

"Aku juga seperti dirimu, gelandangan yang kini menjadi pemulung. Hidupku pun tak jauh beda dengan hidupmu," Joko mencoba meyakinkan.

"Apa Mas mau?" Marni mencari jawab atas keraguan dihatinya.

"Ketulusan, yang akan membuat kita tak pernah lelah untuk saling memahami. Siap menerima apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Getirnya hidupmu akan menjadi bagian deritaku. Aku memang pecundang yang terlindas laju hedonisme metropolitan tanpa gemerlap materi dan kuasa. Tapi saat mengenalmu, aku lebih bahagia dibanding raja dengan istana permata". Getar rasa yang lama terpendam membuat pemuda gelandangan itu menjelma pujangga.

Marni hanya menjatuhkan wajah malu. Hatinya dibasuh embun kebahagiaan. Rasa kagum yang selama ini mengganggu pikirannya kini terkurangi. Ternyata bukan hanya Marni yang memendam rasa, Joko pun sedang menunggu di mana syair-syair cinta dihatinya terkatakan. Joko menjadi labuhan sampan Marni yang lelah mengarungi badai dilautan. Ia juga tempat berkeluh kesah dan teman meraih secercah harapan masa depan.

***

Matahari yang terik siang itu membakar kulit Joko hingga legam. Keringat mengucur dari tubuhnya yang kotor dan berdaki. Sejak pagi buta ia telah mengorek-ngorek tumpukan sampah, mengais barang bekas yang masih bisa dijual ke pengumpul. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar untuk ditukar dengan secanting beras dan sejimpit garam untuk menghilangkan rasa hambar.

Sudah setengah hari ia menelusuri setiap sisi pembuangan sampah, tapi tak banyak yang ia dapat. Hanya beberapa botol plastik bekas minuman. Selebihnya sampah sisa makanan dengan bau menyengat. Mungkin kemarin sore tidak ada mobil yang membuang sampah di sini, pikir Joko membuang penat.

Menjelang sore ia tinggalkan tempat itu. Mukanya yang lelah mulai terlihat murung. Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Seakan ikut membahasakan resah hati Joko. Dengan langkah lesu ia berjalan pulang. Digendongnya keranjang lusuh yang berisi botol plastik. Otaknya berputar putar. Membayang di pelupuk matanya wajah tuan Suryo. Bos pengumpul barang bekas tempat ia menjual hasil pulungannya. Wajah lelaki bermata besar dan berkumis tebal itu begitu akrab di benaknya. Apalagi bulan ini ia nunggak membayar cicilan utangnya, wajah itu makin sangar saat memandangnya masam.

Sebenarnya utang yang pernah ia pinjam tidak terlalu besar, tapi karena ia belum bisa melunasinya kini bunga utang itu menjadi berlipat-lipat. Bahkan, sepuluh kali lipat lebih besar dari utangnya semula.

Di tengah kegelisahan itu, bayangan wajah Budi dan Marni muncul seketika. Budi kini terbaring lemas. Tubuhnya yang kurus semakin ceking lantaran digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Hanya perutnya yang membuncit.

Sebelum berangkat memulung Joko sempat mencium kening Budi. Dibelainya rambut itu penuh kasih sayang.

"Bapak berangkat dahulu ya Nak, doakan hari ini dapat pulungan banyak."

"Inggih Pak, hati-hati. Kalau dapat pulungan banyak jangan lupa belikan Budi telur ayam, hari ini Budi pengin makan pakai telur dadar," Budi meminta dengan suara memelas.

Entah mengapa hari ini Budi ingin makan pakai telur. Padahal tak biasanya ia meminta seperti itu. Ia begitu paham ekonomi orang tuanya. Bapaknya yang hanya seorang pemulung barang bekas tidak bisa menyediakan lauk bergizi setiap hari. Paling paling telur sebulan sekali, itu pun kalau lagi dapat pulungan banyak.

Tak terasa hari beranjak petang. Langkah kakinya terus melaju menuju rumah tuan Suryo. Ia hendak menjual barang bekas hasil pulungannya. Saat melintas di depan toko kelontong, Joko melihat tumpukan kardus bekas di depan toko. Suasana toko saat itu benar-benar sepi. Di jalanan pun tak banyak orang yang berlalu lalang.

Dengan sedikit mengendus-endus Joko mendekati tumpukan kardus. Lembar demi lembar kardus bekas itu ia masukkan keranjang. Sudah belasan kardus yang ia ambil. Rencananya ia menjual kardus itu kepada tuan Suryo untuk menambah beberapa botol plastik bekas hasil pulungannya. Uangnya akan ia gunakan membeli sekilo beras, tiga butir telur ayam, dan sisanya untuk membeli bumbu dapur.

Tapi malang tak dapat ditolak. Keinginan Joko untuk membahagiakan hati istri dan anaknya mendadak buyar. Belum sempat ia meninggalkan tempatnya, pemilik toko telah muncul dari belakang.

"Maling. Maling. Maling."

Pemilik toko berteriak sekuat kuatnya. Joko yang terkejut panik bukan main. Wajahnya pucat bercampur takut dan bingung. Merasa dalam bahaya, ia pun lari sekencang kencangnya. Ia tak lagi memikirkan keranjang miliknya yang berisi botol dan kardus bekas.

Tapi sayang, massa yang mendengar teriakan pemilik toko langsung mengejarnya. Secepat kilat tubuh Joko jadi pelampiasan kekesalan massa. Mereka memukulinya tanpa belas kasihan. Bahkan tak memberinya kesempatan mengelak dan beralasan. Entah sudah berapa banyak pukulan yang mendarat ditubuhnya, ia tak bisa menghitung lagi.

Berkali-kali Joko memohon ampun, tapi massa yang sudah menjadi serigala kelaparan ini terus mencabik-cabik tubuhnya. Joko hanya bisa menangis menahan sakit yang teramat sangat. Darah segar pun mulai mengalir dari hidung dan telinganya.

"Bakar. Bakar. Bakar."

Teriakan massa yang kalut ini membuat detak jantungnya seakan terhenti. Perasaan takut mati menyelinap diantara rintihan lirihnya.

"Ampun, ampunilah saya. Saya mohon!" Joko memohon iba di antara riuh suara massa yang semakin memanas.

"Tenang. Semua tenang. Jangan main hakim sendiri, kita bawa ke kantor polisi saja biar kita tidak kena getahnya."

"Dibakar saja Pak Satpam, biar kapok. Dia kan maling yang udah bikin resah."

Warga yang belum puas melampiaskan amarahnya terus mendesak.

"Tidak. Kalau sampai dia mati, kita juga akan dipenjara. Apa kalian semua siap dipenjara?"

Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah hening. Setelah merenung sesaat, massa setuju untuk membawa Joko ke kantor polisi. Dengan kedua tangan terikat tali, Joko digiring menuju kantor polisi.

Tidak seorang pun menaruh iba padanya. Bahkan, mereka tak pernah bertanya mengapa dan untuk apa Joko mencuri kardus kardus bekas itu. Apakah untuk memperkaya diri? Bermegah-megahan? Bukan, Joko tidak tamak. Ia hanya ingin menukarnya dengan beras dan tiga butir telur ayam, tidak lebih.

Joko menundukkan wajahnya yang berlumuran darah saat melewati rumahnya dengan harapan Marni tak melihat. Tapi, ternyata Marni yang menunggunya sejak sore tak meluputkan pemandangan itu.

"Mas Joko, kamu kenapa Mas? Mas, kamu mau ke mana? Huuk, Huk.., Huk..!" Tangis Marni selaksa hujan yang tercurah dari langit. Ia berusaha memeluk tubuh suaminya yang penuh luka. Tapi massa yang membawa Joko tetap tak menggubris dan terus menahannya. Ratap Marni makin menjadi. Isak tangisnya membuat hati Joko tersayat. Ia hanya tertunduk lesu, membenamkan wajahnya pada kerikil kerikil tajam diatas jalan yang dilaluinya.

***

"Bapak, kapan bapak pulang? Bu, bapak di mana? Kapan bapak pulang?" Suara pelan itu terdengar hampir setiap malam. Dan suara itu pula yang membuat mata Marni selalu basah. Bocah malang yang terbaring didepan Marni itu tak pernah tahu di mana bapaknya kini. Marni selalu menutup-nutupinya karena tak ingin melihat Budi semakin sedih. Setiap Budi bertanya, Marni selalu mengatakan kalau Joko sedang merantau ke kota, mencari uang untuk biaya pengobatan Budi nanti.

Sudah sebulan Joko mendekam di kantor polisi. Di ubin tanpa tikar itu ia habiskan hari harinya yang begitu menyiksa. Entah berapa lama lagi ia akan menunggu sangkar besi ini, ia pun tak pernah tahu.

Polisi penjaga tahanan hanya mengatakan kalau ia nanti akan disidang. Tapi kapan, Polisi tersebut tidak bisa memastikan yang jelas menunggu waktu yang tepat.

Rasa jenuh dan bosan menjadi teman dalam ketidakpastian penantian Joko. Perasaan bersalah telah menelantarkan Marni dan Budi terus menghinggapi pikirannya. Sesal itu makin pahit saat terbayang wajah Budi yang terbaring lemas. Ia tak tahu seperti apa keadaannya, apakah masih bisa makan atau sedang berjuang melawan lapar.

Sepeninggal Joko, Marni kerja serabutan. Untuk menyambung hidup ia sering berbagi sebungkus nasi dengan Budi. Demi sebungkus nasi ini juga, Marni terpaksa meninggalkan Budi sendirian dengan sakit yang semakin kritis. Di siang yang begitu panas, Budi mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.

Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.

Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.

Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan undang-undang dengan uang.

Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan meringankan beban hukumnya.

Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***

Penyesalan Marni


Republika
Minggu, 16 September 2007

Penyesalan Marni
Cerpen: Humam S. Chudori

Sejak di-pehaka, Himawan sering sekali dirawat di rumah sakit. Penyakit asma yang dideritanya sering kambuh. Padahal, sebelum kena pehaka, ia jarang dirawat di rumah sakit kendati tiap bulan mesti mengunjungi dokter. Tragisnya, setelah empat kali dirawat di rumah sakit, Marni mengalami nasib serupa dengan suaminya -- kena pehaka. Sejak itu neraca keuangan keluarga Himawan mulai goncang.

"Jadi orang itu jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari rumah sakit, setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak, baru dua langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah melontarkan kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?" kata Marni lagi.

Himawan tak menyahut. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya. Rasanya ia ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya sendiri masih lemah.

Sebetulnya ia ingin langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar kata-kata istrinya itu tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya seperti berkunang-kunang. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di ruang tamu.

Rumah itu memang sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual. Sebelumnya beberapa perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga sudah mereka jual.

Sejak tak ada meja kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.

Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan. Setelah dua bulan dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan Marni mulai berubah.

Ketika pertama kali berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam -- seperti yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya labil. Itulah sebabnya lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat menikah.

Bukan sekali dua kali Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah nyleneh. Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan serba ingin menang sendiri. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.

Ketika Erna -- adik Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di tengah malam. Widodo pun mengabulkan permintaan Erna. Ia terpaksa mencari makanan yang diminta 'jabang bayi'.

Namun, alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencoba sesendok kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani menolak permintaan 'sang jabang bayi'.

Memang tidak sedikit orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada perubahan perilaku atau kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena perutnya terasa mual.

Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.

Ketika masih bekerja, Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan rumahnya -- kalau dirinya tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah bisa tercukupi.

"Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka belum di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.

"Sama saja, Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian, "Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir tapi sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu bekerja lagi seperti saya."

Apabila Marni sudah mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan maupun Marni -- masih aktif bekerja. Mereka masih punya penghasilan. Namun, setelah di-pehaka Marni tak berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.

Walaupun demikian, toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali Rita.

Sejak di-pehaka, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat. Kedua, pendidikannya pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah lain. Ijazah dari kursus ketrampilan, misalnya.

Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak bioskop yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi. Gulung tikar.

Untungnya, Hendy, ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-anknya, termasuk Himawan. Sebuah rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil kontrakan itulah keluarga Himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meski tidak cukup juga.

"Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang pertanyaan sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata pun.

Himawan masih duduk mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur. "Orang ditanya istri kok diam saja."

"Rumah warisan bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar. Setelah ia berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.

"Sudah gila kamu, Mas?"

"Tadi kamu tanya barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan bapak masih laku dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita. Paling tidak dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah. "Jika nanti kurang ya rumah ini yang kita jual."

Marni diam.

"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya. Suaranya gemetar.

"Mas!"

"Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su... sudah tua...."
Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia terjatuh. Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup rapat. Nafasnya berhenti.

Dengan terbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita, tetangga depan rumahnya. Ada nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa yang telah menyebabkan Himawan menghembuskan napas terakhirnya.

"Andaikata akan begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.

"Ya, sabar saja, Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."

"Masalahnya bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja."

Rita masih diam.

"Untungnya, dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa dua kali lipat lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat. Terlambat berobat, ia harus dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.

"Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak...."

"Maaf," Rita memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya sakit. Ingin buang air."

Dengan tergopoh-gopoh Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni selanjutnya. Kedatangan Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak menghibur sang tetangga yang belum genap seminggu ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar ceritanya Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.

Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi karena almarhum masih meninggalkan utang, pikir Rita.***

Perkawinan Rahasia


Suara Karya
Minggu 27 Januari 2008
Perkawinan Rahasia
Cerpen: Evi Idawati

"Jika sampai ada satu orang yang tahu, kita cerai!" suara Johansyah menggelegar membelah ruangan. Fee, terdiam. Memandang mata suaminya. Hujan baru saja berhenti. Ingin Fee berdiri dan beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Johansyah sendiri. Dia tidak perduli apakah mereka harus bercerai detik itu atau tidak. Fee heran melihat lelaki yang tidak tahu diri itu. Siapa toh perempuan yang mau diperlakukan seperti dia. Perkawinanya dirahasiakan, hanya karena alasan klise. Cinta yang ngawur. Membabi buta. Sehingga Fee menegakan dirinya sendiri terlibat dalam rahasia yang rumit itu.

Johansyah sudah menikah dan keluarganya baik-baik saja. Entah dia yang pecundang, gombal dan buaya. Atau Fee sendiri yang kegatelan sehingga mau saja selingkuh dengan laki-laki yang sudah punya istri dan anak. Entah alasan apa sampai mereka memutuskan untuk menikah tetapi Johansyah membuat persyaratan tidak boleh diketahui siapa pun, kecuali orang-orang yang menjadi saksi pernikahan mereka. O o. dan Fee mau saja dan merasa nyaman dengan itu semua.

Fee, Fee. Laki-laki di dunia ini tidak hanya Johansyah. Cinta tidak harus membuatmu merendahkan diri. Apa yang diberikan Johansyah padamu selama ini sampai kamu mau menjadi istri rahasianya. Rumah? Mobil? Uang? Atau yang lainnya? Apa dia benar-benar mencintaimu? Nonsen! Cinta itu omongkosong. Hati selalu berubah. Sekarang dan besok bisa berbeda. Begitupun hati Johansyah padamu. Sekarang dia bisa bilang mencintaimu sepenuh hati, apa buktinya? Dia hanya ingin bermain dengan kata-kata kosongnya. Dia akan menggunakanmu dengan segala cara untuk kepentingannya. Setelah kamu tidak berguna lagi. Dia akan melemparkanmu. Kamu akan semakin terpuruk dan sakit.

Tidak ada yang melindungimu. karena pernikahanmu tidak jelas. Kamu tidak bisa menuntut dia. Dia dengan gampang akan mengingkari semuanya. Itukah cinta? Lihatlah, apa yang dia lakukan padamu selama ini. Apa yang dia berikan padamu? Atas nama cinta jugakah?Dia ingin kamu mengerti dia. Selalu begitu kan? Tapi dia tidak pernah mengerti kamu. Sudahlah tinggalkan dia. Perempuan seperti dirimu bisa mendapatkan laki-laki mana pun. Jika dia memang tidak tahu diri. Akan terlihat sendiri. Tapi lagi-lagi Fee gemetar saat semuanya hampir berakhir.

"Aku tidak bisa meninggalkan dia. Aku mencintainya" suara Fee begitu lembutnya. Seakan menyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang tidak berdaya.

Aneh! Johansyah bukan laki-laki yang istimewa. Dia pengecut dan suka sekali bersembunyi dalam kata-katanya. Tapi kenapa Fee begitu mencintainya. Sebagai perempuan Fee harus membaca buku tentang laki-laki. Dari Adam sampai Federick. Agar Fee tahu mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan makhluk bernama perempuan. bersyukurlah Fee terlahir sebagai perempuan. Makhluk yang kadang di sikapi tidak adil oleh dunia ini. Tetapi harus tetap tegar dengan seambrek tugas-tugas yang diberikan Tuhan padanya. Dengan sebuah hadiah yang menurut orang-orang sangat istimewa. Surga ditelapak kakinya.

Hati perempuan adalah savanna, samudera dan belantara. Jika dihadapkan pada pilihan hidup yang paling rumit, mereka akan menjelma menjadi angin, air dan udara. Sudah seharusnya Fee tahu itu. Jika dia masih bersikap manja. Tidak berani menerima kesakitan yang biasa bagi sebagian orang itu. Jangan mengaku sebagai perempuan. jadilah orang yang tidak jelas kelaminnya. Meninggalkan pecundang seperti Johansyah saja tidak bisa. Bahkan tidak berani hanya karena takut merasakan luka dan sakit hati.

"Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku mencintainya!" sekali lagi suara Fee yang lirih keluar dari mulutnya. Dia berlagak seperti perempuan yang tidak berdaya.

Bersyukurlah Fee, jika Tuhan masih mengijinkanmu menerima rasa sakit. Kesakitan akan membukakan mata batin kita. Kesakitan adalah pupuk untuk membuat kita terus hidup dan menikmati warna dunia. Kenapa takut berada di tempat seperti itu. Yakinlah, jika Johansyah benar-benar mencintaimu seperti yang sering dikatakannya. Dia akan memberikan tempat terhormat padamu. Seperti dia menghormati dirinya sendiri Dia akan menjaga kehormatanmu. Melebihi kehormatan dirinya sendiri. Dia akan melimpahimu dengan cinta dan kebahagiaan. Dia tidak akan melukaimu. Karena kalau dia melukaimu sama saja dia melukai dirinya sendiri. Bahkan dia akan menyediakan dirinya menjadi dirimu. Memberikan yang terbaik buatmu, seperti kamu memberikan yang terbaik untuknya.

Tapi Fee membutakan matanya. Menulikan telinga dan menutup bibirnya. Bahkan setiap malam tak henti-hentinya dia berdoa untuk kebahagiaan Johansyah. Di jaman seperti ini, perempuan memegang kendali atas mimpi dan keinginan sendiri. Bukan untuk dipermainkan dan direndahkan. Tapi untuk menunjukkan pada dunia, kemampuan, kecerdasan dan kelebihan yang mereka punyai. Melihat Fee, seperti kembali ke seratus tahun silam. Mau-maunya dia berdoa, khusuk untuk kebahagiaan orang yang tidak pernah menghargainya. Atas nama cinta.

Menangislah Fee, menangislah karena kamu tidak bisa bersikap tegar, saat Johansyah memutuskan meninggalkanmu. Mengakhiri semua permainan yang diawali dari kata-kata kosong. Bukan karena kamu takut kehilangan dia. Jangan sekali-kali berani merendahkan diri dan hatimu untuk merengek pada laki-laki itu. Angkat dagumu! Lihatlah kedepan. Laki-laki bukan segala-galanya. Rubahlah tujuan hidupmu, bukan mengabdi pada makluk yang bernama laki-laki. Ada banyak tujuan baik yang perlu kamu camkan dan tancapkan pada bumi. Yang berurusan dengan dirimu dan orang lain. Boleh mencintai asal tidak berlebihan. Silahkan membenci asal jangan keterlaluan. Karena hati selalu berubah. Hati bukan tebing kokoh yang memagari laut dari ombak dan deburnya. Bukan pula batu cadas. Hati begitu lunaknya. Dia bisa disentuh dengan kata-kata yang mendayu tetapi juga bisa disulut hingga terbakar dan berkobar.

"Aku tidak perduli. Kita cerai!" suara Johansyah meninggi.

"Aku salah apa? kenapa?" Fee bertanya dengan suara lemah. Akhirnya hubungan suami istri dalam perkawinan yang dirahasiakan itu harus berakhir juga. Tidak lebih dari enam bulan.

"Aku baru saja menerima telpon dari teman-temanku. Ternyata mereka sudah tahu kalau kita menikah. Kamu pasti yang membocorkan semuanya. Dasar perempuan! kenapa sih tidak bisa menyimpan rahasia. Coba kamu bayangkan, kalau istriku sampai tahu. Apa yang terjadi padaku. Aku akan kehilangan segala-galanya."

"Aku tidak pernah berkata- kata pada teman-temanmu. Apalagi soal kita. Karena aku tahu. Jika mereka tahu soal perkawinanku. Maka selesailah kita. Aku menyadari hal itu. Karena aku sangat mencintaimu. Maka aku menjaga mulutku. Jangan menuduhku dengan berkata seperti itu!"

"Aku tidak percaya padamu! Dari dulupun aku tidak percaya padamu! Kamu selalu berbohong!"

"Aku berbohong soal apa? tentang apa? tolong katakana padaku, hal apa saja yang menurutmu aku berbohong?"

"Tidak perlu diceritakan tapi aku yakin kamu berbohong dan aku tidak percaya lagi padamu!"

"Baiklah, karena kamu sudah tidak percaya lagi padaku. Tidak ada gunanya kita teruskan perkawinan kita. Aku selama ini selalu mengalah padamu. Sebagai istri yang kamu rahasiakan, aku tahu diri dan berusaha belajar untuk tahu diri. Aku tidak pernah bisa bersamamu. Harus menunggu sebulan untuk bertemu. Tidak bisa mengganggumu saat kamu bersama keluargamu. Aku sudah menerima semuanya dan menjalaninya sebagaimana kehidupan normal perempuan-perempuan lain. Entah karena aku mencintaimu atau karena soal lain. Buatku tidak penting. Yang paling utama, meski kita berjauhan dan hanya waktu-waktu tertentu ketemu. Aku menempatkan komitmen kita ditempat yang paling tinggi. Selama aku menjadi istrimu, aku tidak pernah menuntut hal-hal yang tidak bisa kamu berikan. Aku bahkan selalu mensyukurinya. Tapi sekarang terserah padamu. Aku sudah capek. Aku seperti berhadapan dengan anak kecil yang tidak tahu diri. Kembalilah pada istrimu. Aku tidak tahu apa dia memerlukanmu atau tidak. Tapi aku yakin kamu memerlukan dia. Jadi berbaik-baiklah pada istrimu, kamu akan kehilangan asset berharga kalau dia sampai tahu soal kita. Jadilah anak yang baik dihadapannya!"

"Kata-katamu menyakitkan!"

"Apa kamu kira kata-katamu melenakan! Sekarang aku jadi tahu dirimu. Tapi biarlah, aku akan mencatatkannya dalam hatiku. Baik dan burukmu."

Begitulah seharusnya dirimu Fee. Bersikaplah tegas pada laki-laki itu. Kamu tahu kenapa dia begitu ketakutan setelah menikahimu. Kamu harus kasihan padanya. Tidak semua laki-laki ditakdirkan mempunyai sifat pemberani. Mereka juga kadang pengecut. Jika dihadapkan pada dua pilihan. Mereka akan memilih yang paling menguntungkan dia. Jangan berharap atas nama cinta dia akan memilihmu. Hidup baginya adalah angka-angka yang harus dijumlahkan. Jika ada sisa lebih besar, dia pasti akan memilihmu. Kalau tidak ada sisa, bahlan dia merasa kamu telah membuat dia bangkrut, meski kamu punya kelebihanpun tak akan dia menetapkan hati padamu. Jadi jangan menyesal telah meninggalkan dia.

"Tapi rasanya sakit. Aku tidak tahan. Rasanya mau mati saja. Aku kurang apa padanya. Aku memberikan seluruh hati dan diriku padanya. Bahkan jika harus mendada kesakitan pun bersamanya aku mau!"

Jangan mati untuk laki-laki seperti dia Fee. Untuk apa kamu mendada kesakitan bersamanya. Nikmatilah hidup sekarang. Jangan terpaku padanya. Kamu bisa mengerjakan hal-hal yang sudah lama ingin kamu lakukan. Mulailah tentukan tujuan hidupmu. Dia akan menyesal melepaskanmu. Tapi mungkin juga tidak. Dia akan mendapatkan ganti perempuan lain yang bisa dibohongi. Maka belajarlah dengan memberi tanda pada setiap peristiwa. Ambillah maknanya. Jangan menjadi bodoh dengan tidak perduli. Jangan pula mengulang kesalahan yang sama. Lihatlah langit yang benderang, purnama kelima telah datang. kata-kata yang disiapkan untuk menyambutnyapun seperti tanah yang merekah. Siap menerima hujan untuk menyuburkannya. Bisikkan pada pohon-pohon untuk menari bersamamu. Lompatlah ke langit jika bisa membuatmu terbang dan nyaman. Tapi jangan berdoa untuk dia. Karena laki-laki itu, pecundang!.

Entah kenapa, muka Fee masih menyulut kesedihan. Berkali-kali dia mengusap airmatanya. Dan mukena yang dikenakannya setiap malam hanya terlepas setelah fajar.

"Aku mencintainya. Aku akan mengguncangkan langit. Menggedornya setiap malam. Sampai doaku terkabulkan!"

Ah! Ah!

Fee!

Perempuan! ***

* Jogjakarta 2006

Perempuan dan puisi Tuhan

Republika
Minggu, 27 Mei 2007

Perempuan dan Puisi Tuhan
Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak!
Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.

Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami -- aku dan adikku lelaki, Lutfirahman -- ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus es-de.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami: kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar. Hatiku teriris pedih. Beginilah kami: anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan!
Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku. Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam!
Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.

Kukutuki nasib, hendak kurobek dada. Hendak kucabut napas dan jiwa yang menghuni badan ini. Tetapi, tidak! Saat aku dilemparkan ke timbunan sampai saat ini, tiba-tiba kusadari bahwa aku harus hidup! Ya, aku harus hidup. Aku harus bangkit dari malapetaka ini. Harus kukibarkan bendera di tangan dunia, bahwa aku, gadis desa yang berkubang di lumpur hitam, dapat bangkit dan meneriakkan kemenangan!

Mula-mula, hari-hari kulalui tanpa hati. Kulakukan apa yang harus dilakukan tanpa jiwa. Yang kuharapkan, aku suatu ketika bisa keluar dari tempat ini, membawa kemenangan di tangan. Membawa gumpalan kehidupan. Aku berusaha menyimpan uang sedikit demi sedikit.

Tetapi lama-lama aku terjerat dengan segala sistem, dengan segala liku perjalanan hidup bunga raya. Pemerasan demi pemerasan, intrik dan hasutan, membuat apa yang kudapat harus amblas! Begitulah jadinya, aku seakan kembali seperti bayi, seperti baru lahir. Setiap saat harus memulai dari titik nol.

Ya, kulakukan sebisa yang dapat kulakukan. Sampai aku bertemu dengan seorang lelaki. Ah, mulanya aku memang tidak mungkin menaruh harapan dari tempat semacam ini. Tetapi, pada yang satu ini, anehnya aku bisa luluh dan menyerah penuh pasrah.

"Neng...," katanya di dekat telingaku. "Bila usahaku berhasil, aku akan segera membawamu dari tempat ini. Kita akan menikah secara resmi." "Aku senang mendengarnya, Mas Hen. Tetapi bebanku sungguh berat. Adikku harus sekolah. Ibuku harus pula kubiayai."

"Kita biayai bersama. Aku ingin kau ikut ke desaku. Juga adikmu, sekali waktu ia akan sowan ke tempat kita. Ibu juga kalau ia mau, bisa tinggal bersama kita. Kita bangun rumah kecil yang mungil sebagai istana." "Gagasanmu muluk. Kurasa tidak ada kesempatan tanganku untuk menggapainya."

"Engkau jangan pesimis, Dik Ning. Asal ada kemauan pasti ada jalan." "Tetapi mengapa Mas Hen justru memilih aku. Aku kan manusia rusak, kotor. Mas Hen bebas memilih gadis suci, tidak ternoda seperti aku."

"Aku memilihmu, karena aku tahu kau sangat jujur dan setia. Kau terjerumus ke sini bukan karena kehendakmu sendiri. Kau diseret keadaan."

"Aku tahu. Tetapi aku tak mau ada sesal di hari nanti. Biasanya para lelaki akan segera mencaci, jika dari jenis kami ini naik ke tingkat wanita normal. Kami selalu dianggap punya salah yang lebih berat. Dianggap berlumur dosa. Sedang...."

"Stop!" Tangan Mas Hen menutup mulutku. Aku terpana memandang wajahnya. Suaranya mengalun dalam telingaku. "Sedikit demi sedikit aku telah menyiapkan masa depan kita. Aku sudah punya sedikit tabungan di bank. Jika jumlahnya kukirakan cukup sebagai modal, kita menikah, dan segera kita pulang ke desa. Aku ingin jadi petani. Walau tak selesai, aku pernah kuliah di fakultas pertanian."

"Aku ingin dagang," kataku.
"Ya, kau boleh berdagang. Kita dirikan koperasi. Kita berusaha bersama membangun desa."

Begitu muluknya impian itu kurasa. Dan, seperti kelam yang menelan Mas Hen malam itu, rasanya kelam itu pula yang menyungkup aku kini. Betapa tidak, koran yang kubaca jelas menunjukkan kenyataan itu. "Henri -- seorang residivis -- diketahui dari identitas: dan di tempat lain, terbungkus karung, Henri, mahasiswa, gali.... telah menjadi korban penembakan misterius...."
Mataku benar-benar nanar. Lalu gelap. Tiga tahun kutinggalkan, semuanya sudah berubah. Adikku gali. Mas Henri kecintaanku, residivis! Lalu ibu?
Dalam samar, mataku seakan menangkap sosok ayah yang remuk di hantam bus antarkota. Lalu kulihat diriku, kini remuk redam. Aku benar-benar hancur!***

Jakarta, Januari 2007

Lelaki Istimewa

Suara Karya
Sabtu, 18 Agustus 2007

Lelaki Istimewa
Cerpen: Mustafa Ismail

Begitu kulihat nama itu muncul di layar, aku membiarkan saja telepon genggamku berdering sekaligus bergetar di meja kecil samping tempat tidur. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Sepulang nonton bersama malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Semacam perasaan bersalah yang berujung keinginan untuk menghindarinya.

Padahal sebelumnya aku begitu menggebu. Setiap akan bertemu lelaki itu, perasaanku sulit kuungkapkan bahagianya. Aku pikir perasaan semacam itu wajar dimiliki setiap perempuan yang akan bertemu dengan seorang lelaki yang dirasakan cocok dengannya. Ya, cocok dalam soal hobi, dalam pandangan dan pikiran, juga baik. Di mataku, Ndra, begitu aku sering memanggilnya, lelaki yang luar biasa. Lelaki istimewa.

* * *

"Aku enggak ngerti mau bicara apa sih film itu?" Suara Hendra menggerutu begitu film "Tiga Hari untuk Selamanya" selesai diputar. Ia seperti menyesali telah menonton film itu. "Pembuat film itu terlalu berani dalam bereksprimen," katanya lagi. Wajahnya tampak kusut. Aku diam saja di sampingnya.
"Mendingan tadi aku ke acara peluncuran cerpen pilihan Kompas," katanya lagi.

Ya, tadi ia memang sempat ragu: apakah menonton film itu, yang memang sudah lama kami rencanakaan tapi belum kesampaian, atau menghadiri acara peluncuran cerpen di Bentara Budaya. Akhirnya, ia memilih menonton film karena ia ingin membuatku bahagia.

Aku memang bahagia bisa nonton bersamanya. Beberapa kali acara nonton itu tertunda. Pertama, sebabnya tak jelas. Sebelumnya, ia berjanji akan mengajakku nonton, tapi pada hari yang ditentukan, ia tidak menelpon lagi. Aku pun enggan untuk menelpon, takut dikira terlalu bersemangat.

Tapi, beberapa hari lalu, ketika aku iseng menelpon sekaligus memberi tahu nomor baru handphoneku, tanpa sadar aku bertanya mengapa minggu lalu ia tidak jadi mengajakku. "Waduh, sory, aku lupa," katanya di seberang. Ah, itu alasan klise, batinku dalam hati. Tapi aku tidak berusaha untuk mendebatnya.

Dan Kamis lalu, ia pun memenuhi janjinya. Ndra sudah menelpon pagi-pagi dan memastikan bahwa kami jadi nonton. Ia sudah hafal jadwal liburku, yakni hari Kamis, tidak seperti kebanyakan orang bekerja yang libur pada Sabtu-Minggu. Maklum, aku bekerja sebagai karyawan sebuah restoran, yang pada Sabtu-Minggu justru ramai orang. Aku dan teman-teman kerjaku libur bergantian, dan aku kebagian hari Kamis.

Aku berangkat pagi dari Bogor, meskipun kami janjian ketemu jam enam sore. Bukan karena aku terlalu senang, tapi aku ada test di sebuah toko buku. Aku tertarik pindah kerja ke bidang yang lebih akrab denganku, yakni buku.

Dari sana, sudah hampir sore, aku langsung ke Plaza Blok M, tempat janjian kami bertemu. Aku sempat beberapa kali menelpon memastikan apakah dia sudah sampai. Maksudnya, agar aku tidak harus terlalu lama menunggu.

Ya, akhirnya memang dia yang duluan sampai di lobi bioskop, baru aku tiba sekitar lima menit kemudian. Ia datang masih dalam pakaian kerja dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan warna hitam. Wah, orang ini tampak berwibawa sekali, persis seperti kebanyakan orang kantoran.

"Bagaimana tesnya tadi?" ia membuka suara ketika kami telah duduk di ruang tunggu bioskop.
"Aku tak lulus. Tinggiku kurang satu senti dari ketentuan."
"Lho, kok kerja di toko buku mesti ada ketentuan tinggi badan segala? Kayak mau masuk tentara aja....."
"Memang begitu aturannya."

* * *

Dalam perjalanan pulang, kami banyak mengobrol tentang apa saja. Tentang kuliahku yang tidak kuteruskan karena tidak punya cukup biaya, tentang pekerjaan, juga tentang buku-buku baru, tentang film-film bagus, juga tentang kemacetan. Kami bisa bercerita panjang, seperti kemacetan yang mendera kami malam itu di jalan arteri Pondok Indah.

"Di sini paling menjengkelkan," katanya sambil mengendalikan mobilnya di kemacetan itu. "Aku pernah pulang jam sebelas malam, eee... di sini juga masih macet," katanya lagi. Itu karena ada pembangunan jalan bawah tanah, yang belum selesai juga.
"Bapak selalu lewat sini?" kataku.

"Iya, lewat mana lagi. Kantorku dekat sini," katanya. Ia terdiam sejenak. Tapi tiba-tiba ia bersuara. "Sebentar, sejak kita kenal kamu selalu memanggilku Bapak. Apakah aku mirip bapak-bapak?"
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Mataku menatapnya.

"Jika boleh, jangan panggil aku pak, panggil dengan sebutan lain aja. Panggil mas boleh, seperti teman-teman lain," katanya. Teman-teman lain dimaksud adalah teman-temanku, yang kebetulan juga kenal dengan dia.

Oh ya, kujelaskan sedikit, kami bertemu pada sebuah sebuah workshop penulisan skenario. Ndra yang dikenal sebagai penulis skenario sinetron dan film menjadi instrukturnya. Selama sebulan, tiap minggu kami bertemu. Dari sekitar lima belas orang peserta pelatihan itu, hanya aku yang memanggilnya Bapak. Semua teman-teman lain memanggilnya mas atau bang.

"Memanggil mas atau bang lebih akrab lo. Kalau memanggil bapak, seolah-olah ada jarak antara kita, seperti anak dengan bapak atau seperti atasan dengan bawahan. Memangnya aku bapakmu atau aku bosmu, ha....ha....."
Kami tertawa.
"Aku panggil mas aja ya," kataku.

"Setuju. Tapi ingat, kalau salah, aku denda ya. Sekali salah dendanya seribu rupiah. Ntar dendanya dikumpulin...," katanya.
"Oke....Siapa takut."

Mobil terus berjalan, seperti siput yang sebulan tak makan. Malam pun terus beranjak. Dan makin malam, jalanan tampaknya makin ramai. Apalagi ketika mobil kami tiba di depan sebuah pusat perbelanjaan, mobil-mobil seperti tak bergerak. Orang-orang lalu lalang menyeberang jalan. Bus-bus dan angkutan kota yang berhenti di bagian kiri, turut membuat jalan makin berat melangkah.
"Kamu lapar?"

Aku tidak menjawab. Itu pertanyaan bodoh, batinku. Jam telah melewati angka sembilan malam, mestinya pertanyaan itu tidak usah ditanyakan. Memang sih, aku sudah makan bakso jam lima sore tadi, tapi mulutku sudah mulai lapar sejak keluar dari bioskop. Tapi aku berusaha tersenyum.

"Aku juga lapar. Tapi santai dulu, kita kan tadi mau makan makanan Sumatera, nah harus menunggu barang setengah jam lagi," katanya. Makanan Sumatera yang dimaksud adalah Mie Aceh. Aku langsung girang ketika ia mengajakku makan Mie Aceh, yang kutahu dari teman-teman cukup sedap dan bikin ketagihan. Aku ingin sekali mencobanya.
"Tapi kamu tidak anti pedas kan?"
"Aku orang Sumatera lho. Makanan pedas sudah menu sehari-hariku."

* * *

Tapi, setelah malam itu, ada perasaan aneh dalam diriku. Satu sisi, aku tidak ingin menghindarinya, tapi pada sisi lain aku merasa bersalah dekat dengannya. Perasaan bersalah itu makin kental ketika aku terbayang wajah anaknya yang pintar dan lincah. Aku sempat ketemu mereka, Ndra dan Eki, bocah lima tahun itu, di sebuah mall di Bogor. Mereka, makan di restoran tempat aku kerja.

Aku tidak tahu apakah pertemuan itu kebetulan atau bukan. Yang pasti, aku tidak pernah memberi tahu restoran mana aku kerja. Tapi, aku begitu kaget ketika melihat lelaki itu bersama Eki mampir di sana. "Habis dari Puncak. Eki ada shuting di Puncak," katanya ketika kutanya habis jalan-jalan ke mana.

Kemudian lelaki itu menjelaskan bahwa Eki memang suka ikut menjadi figuran di sejumlah sinetron.

Sempat serba salah juga aku waktu itu. Mestinya, aku menjamu mereka. Tapi jelas aku tidak kuat untuk itu. Tahu sendiri harga makanan di tempat kerjaku, nasi goreng saja harganya Rp 25 ribu. Apalagi, Eki mesan segala macam, stik, jus melon dan es krim. Sementara lelaki itu memesan nasi goreng spesial plus telur cepok yang dikasih irisan cabe dan bawang dan minumnya jus mangga.

Aku makin tak enak ketika mereka memanggilku, meminta dibawakan bill, lalu memberi dua lembaran seratus ribu. "Lebihnya disimpan buat kamu aja ya. Aku pamit dulu. Lain kali kita ketemu," katanya. Eki menyalamiku tanpa diminta oleh ayahnya. "Main-main ke sini lagi ya Eki," kataku. Bocah kecil itu tersenyum sambil mengangguk.

Ah, bayangan itu makin membuatku bersalah. Aku takut pertemuan-pertemuanku dengan lelaki itu justru diterjemahkan lain oleh orang-orang yang melihatnya, boleh jadi teman-teman lelaki itu, teman-teman isterinya, atau bahkan isterinya sendiri. Meski kuakui, aku merasa cocok dengan dia, tapi sekali lagi, aku tidak ingin membuat keluarga mereka bermasalah karena aku.

Boleh jadi, memang aku merindukan seorang sosok lelaki dewasa. Lelaki yang bisa mengayomi. Lelaki yang mampu memberi masukan-masukan dan nasihat-nasihat. Lelaki yang romantis. Dan ah, aku menemukan semua yang aku mau pada lelaki itu. Aku memang sudah lama kehilangan sosok ayah, yang kawin lagi ketika aku masih kecil, dan hingga kini aku membencinya. Sayangnya, ibu juga kawin lagi dengan lelaki yang kasar.

Jika boleh, aku ingin sedikit bercerita tentang laki-laki kasar suami baru ibuku. Namanya, Marno. Ia lelaki yang cukup gagah, tinggi besar, mengaku kerja di bank. Tiap hari berangkat ke kantor menggunakan mobil Kijang dan baru pulang pada malam hari. Ia baru pulang ketika larut malam. Nah, selalu saja, ketika pulang, aku dengar ia ribut-ribut dengan ibuku.

Sekali waktu, aku pernah mendengar pertengkaran mereka. "Aku lagi capek Mas, tidak mau," suara ibuku agak tegas tapi dengan nada pelan.
"Kalau kamu nggak mau, aku akan ke kamar anakmu," katanya.

Aku langsung terlonjak begitu mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba, tubuhku jadi berkeringat. Aku langsung teringat yang bukan-bukan, misalnya tentang anak gadis yang diperkosa ayah tiri, dan sebagainya. Tak lama, suara di kamar ibuku yang bersebelahan dengan kamarku senyap. Yang kemudian kudengar adalah suara tangisan ibuku, yang mesti pelan sekali, cukup jelas di telingaku.

Sejak itu, aku makin membenci lelaki itu. Kemudian, aku meminta izin pada ibu untuk tinggal di rumah nenek di Bogor. Sejak itulah, waktu aku kelas II SMP, aku berpisah dengan ibu di Sumatera dan berangkat ke pulau Jawa. Selesai SMA, aku sempat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena aku kasihan sama kakek-nenekku yang kelihatan kesulitan membiayai kuliahku, aku memutuskan berhenti dan bekerja. Tapi, beberapa bulan lalu, lelaki itu hadir dan seperti membawa sosoknya yang kuimpikan.

Aku berusaha tidur, tapi pikiranku tetap melayang-layang. Dan tiba-tiba, sekali lagi, telepon genggamku berbunyi, dan nama lelaki itu tertera di sana. Lagi-lagi, aku ragu untuk mengangkat. Bukan ragu sebetulnya, tapi tidak ingin mengangkat. Beberapa menit setelah dering itu berhenti, telepon genggamku kembali berdering. Aku mengambilnya, menimbang-nimbang, sambil menatap lekat-lekat nama yang muncul di layar ponsel itu.

* * *

Dua bulan kemudian, tanpa sengaja, kami bertemu di toko buku. "Waduh, kamu sulit amat dihubungi. Salah seorang produser tertarik dengan sinopsis ceritamu yang kamu kirim dulu ke aku. Ia minta kamu bertemu dia, tapi aku sulit menghubungimu. Ya sudah, kesempatan itu lepas," katanya enteng.
Mulutku ternganga mendengar kata-katanya.***

@ Depok, 17 Juli 2007

Sabtu, 09 April 2011

Pasangan Muda



Suara Pembaruan
Minggu, 20 Januari 2008

Pasangan Muda
Cerpen: Ni Komang Ariani

Selalu terbetik rasa bangga di hatiku, bila kubayangkan, aku dan istriku barangkali adalah satu dari sekian juta pasangan muda yang menghuni Jakarta. Orang bilang, Jakarta memang surganya pasangan muda. Karena itulah, aku seringkali membenarkan diri untuk membusungkan dada di depan teman-teman seangkatanku di kampung. Mereka yang memilih mengayunkan pacul dan bergelut pada lumpur sawah penghabisan di desa kami.

Lebih-lebih, ibu mertuaku selalu mengatakan, aku adalah menantu yang paling ia sukai. Menurut dia, dari semua rumah tangga anaknya, hanya rumah tangga kamilah yang sederhana namun bahagia. Rumah tangga anaknya yang lain, tidak ada yang bener katanya.

Rumah tangga kakak sulung Laila, Leni, memang jauh lebih mewah daripada kami, namun kabarnya mereka sering bertengkar. Hubungan persaudaraan antaranggota keluarga juga kabarnya tidak hangat. Sementara rumah tangga adik Laila, Ranti malah lebih berantakan lagi. Suaminya pemabuk dan penjudi, sementara Ranti hanya petugas jasa parkir di salah satu mall. Seharian penuh Ranti terkurung dalam boks parkir di lantai basement yang pengap. Tak heran bila ia sering marah-marah tak jelas apalagi dengan kelakuan suaminya yang tidak bertanggungjawab.

Mertuaku itu tinggal bersama kami dan ialah yang memasak masakan terlezat untuk kami. Ia tinggal di salah satu kamar dalam rumah kontrakan sempit yang kami sewa. Maklumlah, kami hanyalah sepasang suami istri yang hanya bisa hidup pas-pasan di ibukota. Aku hanya lulusan STM dan bekerja di bengkel resmi motor merek terkenal. Sementara istriku lulusan SMA yang kini menjadi SPG counter voucher isi ulang. Bila ada rezeki berlebih, kami sekeluarga cukup gembira dengan makan di warung tenda di pinggir jalan besar. Makan sate ayam atau bebek goreng menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan istriku tiap Sabtu dan Minggu.

Yah, janganlah membayangkan kami seperti kebanyakan pasangan muda yang menghuni Jakarta. Jangan membayangkan sepasang dokter dengan pegawai bank, sepasang arsitek dengan dosen, sepasang wartawan dengan marketing, yang mempunyai penghasilan jutaan rupiah dan memiliki rumah mungil di kawasan Jabodetabek. Aku dan istriku cukuplah disebut pasangan muda kelas dua saja.

Walau begitu, kami adalah pasangan yang bahagia. Kami adalah pasangan muda yang menikmati manisnya rumah tangga yang harmonis. Aku dan istrinya banyak ngobrol dan tertawa. Selain itu, kami adalah pasangan serasi. Soal yang satu itu, bolehlah aku menyombong. Istriku cantik dan seksi. Tubuhnya langsing dan rambutnya panjang. Ia juga rajin berdandan dengan alis yang dibentuk rapi. Sementara aku bolehlah dibilang cukup tampan. Aku selalu tampak gagah dengan seragam montirku. Oh ya, perkenalkan namaku Setyo dan Laila istriku.

Laila istriku adalah perempuan yang tidak pernah berhenti berpikir. Sejak kami pacaran di kampung dulu, sampai saat-saat menjelang menikah, Laila selalu hadir dengan ide-idenya. Akhir-akhir ini, Laila sering mengeluh prihatin akan nasib adiknya. Beberapa kali kudengar, ia menasehati Ranti agar bercerai saja dengan suaminya yang bajingan. Laila juga berjanji mencarikan pekerjaan sebagai SPG untuk Ranti. Pastilah tidak terlalu susah baginya. Ranti sangat cantik. Kalau saja nasibnya beruntung, ia tidak kalah cantik dengan model-model yang muncul di majalah atau TV. Ia juga cerdas. Sering dapat juara kelas ketika sekolah dulu. Namun otaknya yang cerdas tidak disertai kemampuan bergaul yang baik. Ranti pendiam dan pemurung. Ia yang semestinya bisa menjadi SPG mobil yang digaji mahal, malah hanya bekerja sebagai petugas parkir yang terjebak dalam kotak nerakanya. Ah, nasib orang memang susah ditebak.

Namun usul Laila untuk bercerai itu, tidak pernah disanggupi Ranti. Barangkali karena ia sungguh-sungguh mencintai suaminya atau mungkin ia takut mendapat sebutan janda. Entahlah. Keadaan ini membuat Laila sering terlihat termangu-mangu sambil mencangkung di beranda rumah. Sampai suatu ketika, dari mulutnya meluncur sebuah ide.

"Saya ingin buka warung, Mas!" kata Laila

"Warung kecil yang menjual perlengkapan sehari-hari. Daerah sini terlalu jauh ke toko terdekat, saya pikir bakal laku!" tambahnya lagi tanpa diminta.

"Lalu modalnya?"

"Ibu masih punya sepetak sawah di kampung yang sekarang digarap orang. Menurutnya, lebih baik untuk modal saja. Ibu dan saya juga punya perhiasan peninggalan eyang yang nilainya lumayan. Mungkin bisa kita gadaikan untuk pinjam modal. Begitu warungnya jalan, langsung kita tebus!"

"Wah, pikiranmu sudah sejauh itu. Apa modalnya memang cukup untuk buka warung?"

"Cukup, Mas. Saya sudah hitung semua. Mas setuju?" tanyanya antusias.

"Aku sih setuju saja, Dik. Apalagi untuk kemajuan kita juga. Lalu pekerjaanmu sebagai SPG?"

"Aku sudah minta izin pada bosku agar pekerjaanku digantikan Ranti. Ia setuju setelah Ranti saya bawa menghadapnya. Maaf saya baru bilang ke Mas. Tadinya kalau Mas tidak setuju, saya mau cari pekerjaan baru sebagai SPG. Kasihan Ranti, biar hidupnya lebih senang!" jelas Laila panjang lebar. Aku semakin mengagumi istriku ini. Ia begitu cekatan dan cerdas.

"Tentu saja aku setuju. Cuma saja, aku tidak bisa ikut membantu modalnya. Maklumlah, aku sebatang kara dan tidak punya warisan apapun!" kataku memandang sayu.

Istriku hanya tersenyum mendengar suaraku terdengar sedih. "Nggak apa-apa, Mas. Mas kan sudah bekerja untuk mencari nafkah untuk keluarga." Kata Laila menghibur hatiku. Ah sungguh ia seorang Dewi yang diturunkan untukku. Aku berjanji untuk lebih rajin dan bekerja keras, agar terus dapat memberinya nafkah.

Dan mimpi kamipun diwujudkan Laila dalam sebulan. Waktu terlama adalah menjual sepetak sawah warisan Ibu Laila. Setelah ditawarkan ke sana ke mari, akhirnya seorang kenalan baik bersedia membelinya dengan harga lumayan bagus. Itung-itung membalas jasa Ayah Laila, kata kenalan baik itu. Mereka mengaku banyak berutang jasa pada Ayah Laila yang terkenal murah hati dan ringan tangan.

Dan warung itu buka hari ini. Kami membuat syukuran kecil-kecilan dengan membuat nasi tumpeng mungil untuk kami santap bertiga dan beberapa tetangga dekat. Maklumlah nasi tumpeng biasa terlalu mahal buat kami dan juga rasanya terlalu wah untuk warung sekecil ini. Kami sesaat hening, mensyukuri karunia-Nya.

Hari-hari berikutnya adalah saat kami bicara tentang warung dan warung. Hari ini laku tiga sabun dan dua kilogram beras, beberapa permen dan satu korek api. Atau hari ini hanya laku dua batang rokok. Atau kadangkala dengan gembira Laila bercerita hari itu laku 5 kilogram gula, mi instan 5 biji, 10 kilogram beras dan 3 bungkus rokok. Menurutnya, para tetangga sudah mulai mengenal warungnya. Mereka mulai beralih dari toko yang jauh ke warung Laila yang harganya tidak terpaut jauh. Apalagi Laila yang ramah dan ringan tangan itu pasti gampang membuat pembeli menyukainya.

*


Aku menghirup kopiku dengan nikmat hari itu. Warung istriku telah berkembang dan memberikan penghasilan yang lumayan kepada kami. Kadangkala bahkan lebih besar daripada gajiku. Ia mulai membeli baju-baju kesukaannya dan sesekali membeli blus baru buat Ibu dan Ranti, juga kemeja untukku. Ia juga menabung, katanya untuk anak kami yang akan lahir nanti.

Kami duduk di beranda rumah sore itu. Warung sedang sepi dan aku mendapat jatah libur dua hari. Hidup terasa nikmat betul. Berkali-kali kuhirup kopiku dengan tegukan pelan agar kenikmatannya terasa lama.

Laila memperhatikanku dengan geli.

"Mas Setyo ini, ngopi kok sampai menghayati begitu?" katanya sambil tersenyum lebar.

"Ah kamu Dik, mengganggu saja. Aku kan sedang menikmati hidupku memiliki istri seperti kamu!" kataku dengan nada serius.

Laila meleletkan lidahnya mengejekku. "Ah Mas, istri sendiri kok dipuji-puji. Ntar didengar orang malu!" katanya sambil tersipu. Itulah Laila, amat kental dengan budaya Jawa yang low profile. Ia selalu mengelak bila dipuji, padahal aku sangat bersungguh-sungguh. Ia malah tersipu-sipu bahkan biasanya melangkah pergi meninggalkanku bila aku katakan aku bersungguh-sungguh.

Tapi kali ini ia tidak pergi. Ia malah menatapku serius.

"Mas, mau dengar saya lagi ndak?" Katanya menunggu reaksiku

"Masalah apa Dik? Tentu saja aku mau dengar. Wong aku suamimu dan kamu istriku!"

"Saya ingin mencicil rumah ini."

"Wah...!" kataku tanpa bisa kucegah. "Apa kita mampu dan apa pemiliknya menjualnya?"

"Satu-satu dulu Mas. Saya sudah ngobrol dengan Bu Retno. Saya membujuknya untuk menjual rumah ini. Awalnya dia bingung tapi lama-lama tidak keberatan. Sekarang kan suaminya sudah pensiun. Ia butuh banyak uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia malah berterima kasih pada saya karena menasihatinya. Sebelumnya ia bingung kemana harus mencari tambahan uang, ia lupa pada rumah ini. Saya bilang kita mau mencicil, sedikit demi sedikit dulu. Maklumlah keuangan kita belum begitu baik. Saya tawarkan cicilannya tiga kali harga sewa setiap bulannya. Lumayan buat dia menutupi biaya hidup sehari-hari. Kalau kita dapat rezeki lebih suatu kali, barulah dibayar cukup besar. Ia setuju. Lagi pula Bu Retno memang baik, mengerti keadaan ekonomi kita.

Aku hanya bengong mendengar penjelasan Laila. "Kamu seperti tau semuanya, apa kamu memang punya ilmu nujum!" kataku dengan kekaguman yang mengental pekat di mataku.

"Ah Mas ini !" Sekali lagi dengan senyum tersipu di wajahnya. "Saya kan hanya memikirkan keluarga. Kelak kita akan punya anak. Rumah sendiri tentu lebih enak daripada ngontrak!" Sekali lagi Laila menunjukkan wawasannya yang memandang jauh ke depan. Ia seperti terus bergerak maju dengan mimpi-mimpi barunya. Ia, lebih daripada aku, benar-benar mewakili semangat pasangan muda, yang terus bergerilya meraih mimpi-mimpinya. Walaupun mimpi-mimpi kami, tentu saja, mimpi-mimpi kecil pasangan muda kelas dua.

"Setelah nyicil rumah, kira- kira apa selanjutnya ya Dik?" kataku menggodanya di penghujung sore itu.

"Ah Mas, pelan-pelan dong. Satu-satu!" katanya. Tapi setelah memalingkan wajah, ia memandang lurus ke depan. Memandang petak-petak rumah kontrakan yang bertebaran di sekeliling kami. Memandang kerlip-kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi nun jauh di sana. Mata itu dalam dan berbinar. Aku yakin Laila sedang merangkai satu lagi mimpi baru. Mimpi kecil dari pojok Jakarta. * **

Berbohonglah sekali lagi

Suara Karya
Sabtu, 23 Juni 2007

Bohonglah Sekali Lagi
Cerpen: Yustine Pravitasmara Dewi

Kuingin kau berbohong padaku. Seperti yang kau utarakan kemarin, dan yang kemarin dulu itu. Ketika redup mentari berpendar di pucuk daun dan ketika kerumunan itu tak lagi bersamamu, kau mulai dengan kisah kebohonganmu yang pertama kepadaku.

"Aku sayang padamu," bisikmu lirih hampir tak terdengar, ditingkah bising kendaraan yang lewat. Telingaku hampir tak menangkap makna kalimat yang kau ucapkan, sampai kesadaranku memaksaku memahaminya. "Mimpikah aku ?" hanya segitu yang bisa terlontar dalam benak.

Bisikan lirihmu seolah memberi pesan akan sesuatu yang terlontar spontan dan kau sendiri terkejut mendengarnya. Duniaku berhenti beberapa detik.
Senyap. Kosong. Harmoni mengisinya.

Kurasa itu tak kan lagi terjadi. Tetapi aku adalah pemimpi dan mimpiku sering bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika itulah bohongmu yang kedua melantun bagai nada yang baru tercipta. Kau ucapkan beserta segala daya pikatmu yang hampir selalu merobohkan hati setiap perempuan.

Aku, pun terinfeksi virus pikatmu. Tapi tidak terlena dan mengejarmu bersama kertas yang kupaksa untuk kau tanda tangani seperti yang lain. Kelelahan yang selalu kulihat dalam sorot matamu, seolah tak kan pernah kupahami maknanya. Roda yang kita mainkan tidak pernah berputar lamban, selalu cepat dan amat cepat, sering kita terengah bersamanya. Namun, lelahmu bukan karena itu. Rasa dalam hatiku merindu akan jawab itu, yang kutahu takkan pernah kudapat darimu. Bukan pula dari mereka, wajah-wajah cantik itu.

Malam telah jatuh menggantikan siang kita dan kau tampak seperti model iklan rokok lokal dengan raut seperti Brad Pitt dalam balutan hitam-hitam.
Sempurna.

Tak lagi mampu kukendalikan diriku padamu. Kau pun berikan dirimu kepadaku. Waktu tergenggam oleh tangan-tangan kita.

Dan itu terulangi! Tidak seperti kali pertama kebohonganmu, kali ini bohongmu terdengar lebih jelas dan membuatku membeku sekaligus menjentikkan api yang selama ini padam dalam hatiku.
"Aku sayang kamu."
(Bohong!)

Aku tahu, itu. Tetapi aku mulai menikmati bohongmu dan kuletakkan peranku pula disitu. Karena kita adalah pemain yang tak kan berhenti untuk peran-peran dalam naskahNya. Begitulah katamu, disuatu waktu. Meyakinkanku pada sesuatu yang kau yakini.

"Apakah peranku bagimu, silumankah aku?" tak ada jawabmu, hanya angin berdesir di sekeliling kita. Bulan pucat tak bisa menyembunyikan senyumanmu demi melihat kerutan di dahiku. Biarlah menjadi rahasia alam akan apa yang kita rasakan ini. Jangan lagi memaknainya, menanyakannya atau mengharapkannya di waktu yang akan datang.

"Tak berartikah ini bagimu?" aku belum puas dengan penjelasan retoris itu. Dan mulai memaksanya. Selintas beberapa wajah cantik mencoba mengingatkanku pada posisiku. Tanpa makna.

"Kau memberikan padaku warna lain pada kanvasku, itu berarti banyak sekali." Itulah yang terucap darimu dan menepis tanganku dari tanganmu. Kehangatan tiba-tiba lenyap. Aku mulai menggigil.
"Aku harus pergi!"
"Jangan. Kataku, jangan pergi," kuulangi pintaku lirih.
"Tinggallah," kuingin tetap berbagi peran denganmu.
"Baiklah. Janjimu begitu."

"Selamat malam, terima kasih," dan itulah kata yang terdengar dari bibirmu. Hanya punggungmu yang kulihat meninggalkanku dalam semua renunganku akanmu. Tak kan aku berdiam dalam tamansari ini jika tanpamu. Kupupus semuanya tentangmu dan menegaskan diriku akan segala kebohonganmu yang lalu. Tak bisa!

Ku tak mungkin jatuh cinta kan ? tidak sekarang, tidak denganmu. Pesonamu menjeratku tapi aku tak kan membiarkan diriku jatuh cinta kepadamu. Tak kan pernah kupercaya segala tuturmu kepadaku, dan ku akan selalu menganggap bohong apa pun yang kau ucapkan kepadaku, termasuk yang itu...yang dua kali kau sampaikan padaku.

* * *

Esok, ketika hari berganti akan kuserahkan laporan akhir tahun seperti yang kau minta. Itu berarti pekerjaan paling melelahkan bagiku terselesaikan satu minggu sebelum deadline yang telah kau tetapkan. Aku mau menyelesaikan secepatnya. Kemudian, Tuhan, berikan kekuatan padaku, kuingin pergi darimu, jika semua ini sia-sia.

Tapi kemudian, hal itu terjadi, seperti setiap aku marah padamu. kau seperti bertelepati padaku. Kau selalu tahu tentang apa pun yang kupikirkan. akanmu.

Senyummu mengembang. Kupandangi matamu, berharap bisa menguak kebohongan itu dari sana.

Agak sulit menciptakan kebohongan pada mata, dan aku melihat segalanya disana mengatakan itu. Kerinduanmu terpancar dari kedalaman pandanganmu. Kau ulurkan tanganmu menyentuhi jariku. Kurasa inginkan lagi. Kau yang seolah tak pernah kehabisan kata kini terdiam dalam pandang yang bertemu, terkunci disana oleh kekuatan yang lebih besar dari yang kita bisa pahami.

"Sadarlah, betapa indahnya persahabatan ini. Dan jika waktu membawa kita saling jauh, kita akan tetap bertemu lagi dalam indahnya rasa ini."

Air mataku mulai menderas tanpa mampu lagi kutahankan. Persahabatankah ini semua bagimu? Sesalku dalam hati. Kutinggalkan engkau dengan tumpukkan laporan akhir tahun yang bahkan tak sempat kau sentuh. Bergegas menuju ruanganku, dan berencana membenamkan diri disana sementara waktu.

Telepon di mejaku berdering. Kau. Segera kututup lagi. Semenit kemudian kau telah duduk di mejaku.
"Apa yang membuatmu sedih?" tanyaku, pelan.

Aku hanya mengajakmu melihat realitas yang ada. Kita adalah manusia - manusia rapuh yang seringkali salah melihat pertanda dalam hidup kita sendiri. Aku tak ingin kita salah langkah dalam hal ini. Aku bersamamu sekarang, kau tahu ini adalah ketulusan yang ...

"Tapi, kenapa ? Kau telah membuatku jatuh cinta padamu, dan kau katakan kini kita akan berpisah suatu hari nanti!" raungku memotong kata-katanya.
"Karena kita tidak tahu pada apa yang terjadi besok, Diajeng."

Sapaan itu selalu berhasil meluluhkan hatiku. Tapi kini aku butuh lebih dari hanya sekedar sapaan "diajeng" itu. Di tengah tetesan air mataku, kulihat dia melakukan sesuatu yang akan kukenang selama hidup, dikeluarkannya saputangan dan menghapus air mataku dengan sabar.

Kini ia berpindah berdiri di belakangku, membimbingku menuju sofa di seberang meja. Di rengkuhnya kepalaku dan ciuman lembut itu menghapus habis isakku.

"Aku tak pernah bisa berbohong, pada siapapun, juga padamu. Aku tak kan pernah katakan janji yang tak bisa kupenuhi karena mungkin alam ini tak mendukungnya."

"Kau pernah berbohong padaku." Kembali aku terisak kini.
"Kapan ?"
"Ketika kau katakan kau sayang padaku." Dia mengerutkan dahinya, tak mengerti.

"Kau bohong dengan mengatakan kau sayang padaku," kataku meneruskan. Dan aku ingin sekali kau tetap berbohong padaku, jangan katakan kita akan berpisah suatu hari nanti. Itu sungguh menyakitkanku.

"Aku sayang kamu " itu terucap lagi darimu....... dan dengan menghapus lagi air mataku kau memintaku bersamamu makan siang.

"Jangan katakan itu kalau hanya untuk sementara." desisku
"Kau membuatku makin tak mengerti Diajeng. Sudahlah, mari kita makan siang sekarang."
"Aku pasti jelek karena menangis."
Kau menggelengkan kepala kuat-kuat sambil berjalan menuju pintu.

Kupandangi punggungnya yang melangkah pergi, seperti kala itu. Tapi aku tahu kini, aku harus berada di sampingnya, selalu. Untuk makan siang, dan untuk hari-harinya, dengan ketulusanku pada kebohongannya.***

* 12 Mei 2007. (Kagem SS:Happy B-day)